Mei, 30

359 32 1
                                    

Setelah itu, kepulanganmu bukanlah satu hal yang harus saya rindukan. - Septian.

"Septian,"

Septian menoleh ke sumber suara, seorang wanita berpakaian bagus sedang menatapnya dengan senyum yang menggantung di wajahnya yang cantik.

Perlahan, wanita itu menghampirinya, memeluk Septian tiba-tiba.

"Berapa lama ya, aku ninggalin kamu?"

Lama, lama sekali sampai Septian lupa rasanya mencinta dan dicinta.

"Kamu masih aja sih, kopi terus, kopi terus, kopi lagi. Kamu ngga kasian ya sama lambung kamu?" lanjutnya sambil melepaskan pelukannya dan Septian masih diam, tak berbicara atau tak berekspresi apapun. Yang ia tahu, dunianya seolah berhenti saat itu dan Septian kembali menjajaki serpihan masa lalunya.

"Ganti ya, air putih saja?" tawarnya. Kemudian wanita itu memanggil pegawai Septian dan memesan air mineral tapi sebelum itu dia menyuruh pegawai itu untuk membawa kembali bergelas-gelas kopi ini.

"Septian, kamu sakit?"

Oh, benarkah wanita itu menanyakkannya?

Setelah bertahun-tahun menghilang, apa baru sekarang dia menyadari kesakitan yang Septian alami?

Mengapa ini sangat terlihat mudah untuknya?

"Jangan berpura-pura kalau kita ini baik-baik saja."

Septian tahu wanita itu kini menjadi salah tingkah, beberapa kali dia menarik napasnya, dalam.

"Maaf."

Septian sudah menebaknya. Kata itu yang akan diucapkannya beserta air muka yang berubah.

"Saya tidak butuh itu." kata Septian pelan, yang membuat garis-garis di dahi wanita itu tertaut.

"Tapi, aku perlu mengatakan itu."

"Buat apa?" kini Septian memandang wanita itu dengan mata yang menyala.

Wanita itu kembali menunduk. Sekelebat kenangan kembali merasuk ke dalam kepala Septian, dulu itu rasanya manis, bahkan Septian masih merasakannya sampai sekarang. Tapi, sejak tahu pahit-pahitnya. Septian sudah tak bisa merasa lagi, manis, asam, asin pun rasanya tetap sama pahit juga.

"Maaf. Septian, maaf."

"Iya." kemudian Septian beranjak meninggalkan wanita itu sendirian.

Walau bagaimanapun, sesakit apapun hati Septian ia tak ingin menjadi mendendam. Karena jikanya mendendam rasa sakit itu malah semakin membunuhnya perlahan-lahan, maka merelakan adalah jalan satu-satunya agar Septian juga bisa melanjutkan hidupnya dengan tenang.

Dlep~

"Maaf, Septian. Aku sayang kamu." kata wanita itu yang kini sudah memeluk pinggang Septian erat.

Septian tak menjawab. Ia menutup matanya dan menarik beberapa kali napas panjangnya.

"Septian~"

"A-April?"

April To SeptemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang