15. LUKA

670 75 26
                                    

Jantungku meletup-letup ketika merasakan lengan Zaki merengkuh pinggang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jantungku meletup-letup ketika merasakan lengan Zaki merengkuh pinggang. Kami baik-baik saja di ranjang, namun bukan berarti kami intim sampai suka saling membelai satu sama lain. Aku bahkan tidak pernah menemukan kami tertidur dengan posisi erotis seperti yang terjadi di novel-novel. Semuanya normal-normal saja. Jadi, ketika sekarang ia memelukku seperti ini, jangan tanyakan mengapa jantungku berdebar begitu kencang.

Coba saja kau rasakan sendiri, dipeluk erat-erat oleh lelaki yang seumur hidup kaukenal hanya sebagai teman.

"Matahari itu lucu, ya," ucap Zaki di belakangku. Meski tidak melihat wajahnya, aku bisa merasakan ia tersenyum. "Dia lincah dan gampang akrab."

"Emang," kataku. Matahari adalah anak yang mudah disayangi. "Makanya aku sayang sama dia."

"Aku juga sayang sama dia."

Aku menoleh. "Kamu ngikutin omongan aku?

"Enggak."

"Awas, ya. Aku lagi gak mau main itu."

"Waktu itu, kamu juga gak nanya aku mau main atau enggak."

Yeah, Zaki memang paling jago membantah. "Terserah kamu, deh."

Zaki tertawa di punggungku. "Zevita," bisiknya, "aku juga mau punya anak perempuan, yang cantiiik kayak kamu." Ia membelai perutku. "Waktu itu, kenapa kamu tanya, gimana kalau kamu gak bisa ngasih aku anak? Memangnya kamu kenapa?"

Aku menahan napas. Bagaimana aku menjawabnya? Aku tahu Zaki sangat menginginkan anak. Aku melihat tatapannya yang bersinar-sinar ketika kami mengunjungi bayi-bayi di panti asuhan. Aku memperhatikannya ketika bermain bersama Matahari. Tapi aku tidak bisa memberinya anak. Aku masih ngeri membayangkan bayi yang pernah ada dalam rahimku dikeluarkan paksa dan dibuang dalam keadaan hancur. Pembunuh sepertiku, tak layak jadi seorang ibu.

"Karena...," aku melepaskan tangannya, berbalik menghadap Zaki, "aku bermasalah."

"Bermasalah?" Zaki menatapku serius. "Kita bisa cari dokter terbaik yang bisa membantumu sembuh."

Jantungku mencelus. Zaki tidak mengerti. Zaki tidak mengerti. "Dokter gak akan bisa menyembuhkanku."

Zaki menatapku dengan kening yang mengerut. Pangkal alisnya nyaris menyatu saat ia berekspresi seperti itu.

"Kalau begitu," Zaki membelai pipiku, "aku yang akan menyembuhkanmu."

***

Keesokan paginya, aku tidak menemukan Zaki ketika bangun tidur. Ia masih cuti. Tapi entah ke mana sepagian ini ia pergi tanpa mengabariku. Beruntung kakiku sudah membaik. Memarnya sudah berkurang sehingga meski masih sedikit sakit, aku bisa berjalan pelan-pelan.

Aku berhasil mandi sendiri. Meski prosesnya lebih lama dari yang biasa kulakukan. Hal ini membuatku sadar supaya lebih banyak bersyukur. Sebelum sakit, aku tidak mengira bahwa kencing di toilet, bisa menjadi hal yang nikmat seandainya dilakukan oleh tubuh yang sehat.

Nani menghampiriku sepuluh menit kemudian. Ia bertanya bagaimana aku bisa mandi sendiri dan kujawab: jika ada kemauan maka selalu ada jalan. Aku bertanya ke mana Zaki pergi, tapi Nani bilang tidak tahu. Katanya, Zaki hanya menitipkanku agar ia bersamaku setiap waktu. Nani membawakan sarapan, mengawasiku minum obat sambil menonton drama India tentang perjodohan.

Aku bukan penikmat acara seperti ini. Aku lebih senang membaca daripada nonton. Aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca, sama seperti penggemar film menghabiskan banyak waktu untuk menonton. Tapi kali ini, ada sesuatu yang membuatku tertarik untuk menyaksikannya. Nani bilang, kehidupannya mirip seperti tokoh wanita: dijodohkan dan menikah diusia belia.

"Jadi, kamu menikah sama suami kamu karena dijodohin?"

Aku geleng-geleng kepala mendengar ceritanya. Aku tahu Nani menikah muda, tapi kukira bukan karena dijodohkan. Bisa kalian bayangkan apa yang dipikirkan kedua orang tuanya ketika menikahkan anak gadis mereka yang masih berumur 14 tahun? Aku tidak bermaksud mencela, tapi, ya Tuhan ... 14 tahun? Apa seumur itu, dia sudah mengerti coitus? Ovum? Tuba fallopi?

"Iya, kami dojodohin. Saya 14 tahun, sedangkan suami 20 tahun waktu itu. Karena dijodohin, saya jadi gak cinta sama Mas Deni. Tidur aja kami pisah. Saya di kasur, suami gelar tikar. Sampai setahun kami seperti itu."

Hah? "Setahun?" Aku membayangkan bagaimana jika setiap malam selama setahun Zaki harus tidur di sofa."Terus gimana ceritanya kalian akur?"

Pipi Nani merona. Aku jadi berpikiran mesum melihat wajahnya yang tersipu-sipu seperti itu. Jangan-jangan, Nani langsung luluh setelah dicium? Ew, itu tidak mungkin! Pikiranku pasti ngaco! Hal seperti itu cuma terjadi di novel, di Wattpad, di film roman yang semua ceritanya fiktif! Di dunia nyata, memangnya ada perempuan yang akan memasrahkan seluruh hidupnya setelah diberi sekenyot ciuman? Padahal sebelumnya, si perempuan menjauhi si lelaki seperti menghindari kutu debu. Tidak mungkin kan, ada orang yang jatuh cinta seinstan itu?

"Dia gak minta cerai?" aku mengganti pertanyaan.

Nani menggeleng lalu tersenyum malu-malu. "Jangankan cerai, Mas Deni bahkan gak pernah ngeluh harus tidur di atas tikar tiap malam. Padahal pagi sampai sore dia ngojek. Dia juga gak pernah ngojek sampai larut meskipun tiap malam saya cuekin. Lama-lama saya sadar, lelaki seperti suami saya mungkin hanya satu-satunya di dunia. Kalau saya terus mengabaikannya, saya mungkin akan kehilangannya."

Perjalanan cintaku dan Nani tentu saja berbeda. Aku tidak menikah muda dan dijodohkan dengan lelaki yang tidak kuinginkan. Aku tidak memusuhi pasanganku. Aku hanya menikah dengan lelaki yang tidak kucintai tapi menjadi satu-satunya orang yang mau kuajak berlari.

Untuk pertama kalinya, aku tak ingin Zaki pergi.

***

Aku melewatkan sisa hari itu dengan perasaan cemas. Hingga sore hari, Zaki belum juga kembali. Yang semakin membuatku tak nyaman, ia pergi tanpa pamit. Ponselnya ditinggalkan dalam keadaan di-charge, membuatku tak bisa berpikir bagaimana aku menghubunginya.
"Dari jam berapa sih suami saya pergi?" tanyaku pada Nani.

"Bapak keluar subuh-subuh banget, gak bilang mau ke mana cuma pesan saya harus nemenin Ibu."

Aku mendesah pasrah. Pikiranku berantakan. Bagaimana jika Zaki menyerah padaku? Aku harus bagaimana kalau Zaki meninggalkanku?

Dengan perasaan kalut, aku menunggunya di beranda hingga pukul 6 sore. Namun Zaki belum juga menunjukkan batang hidungnya. Nani mengingatkanku untuk tidak khawatir, sebab stres, marah, dan kelelahan bisa membuat epilepsiku kembali kambuh. Tapi aku benar-benar tak bisa tenang. Ketika aku berpikir untuk memulai semuanya dari awal, Zaki justru menghilang. Aku takut saat kembali, ia menjadi orang yang tak sama lagi.

Menjelang pukul 9 malam, aku mendengar suara mobil masuk. Dari jendela, aku melihat si Lulu sudah diparkir di carport. Zaki pulang! Aku berjalan tetatih-tatih untuk menyambut Zaki, namun tak cukup cepat karena ia lebih dulu sampai di kamar kami.

Dan, pemandangan yang kulihat sungguh membuat hatiku ngilu.

Zaki babak belur. Bibirnya sobek dan wajahnya terluka. Sementara pakaiannya kotor dan penuh darah.

Aku menjerit, "Kamu kenapa?!"

"Aku melakukan yang harus kulakukan," jawabnya. Apa yang dikatakannya? Aku tidak mengerti. Zaki melangkah mendekatiku, mengajakku duduk di tepi tempat tidur. Aku membujuknya mencuci luka lebih dulu, tapi Zaki tidak mau.

"Kamu dirampok?" tanyaku. Zaki menggeleng. "Berantem?" Dia tidak menyahut.

"Agam," sebutnya. Jantungku mencelus mendengar nama itu. "Dia menguntitmu selama ini. Dia orang yang mengirimimu hadiah-hadiah mahal dan mendekatimu sebagai Agis. Dia mengikuti semua kegiatanmu, termasuk saat cooking class." Zaki meringis, menyeka sudut bibirnya yang berdarah, "Dan aku gak pernah mengundangnya ke pernikahan kita, Zevita, gak pernah. Aku juga bertanya-tanya saat itu, dan hari ini aku menemukan jawabannya."

***

Fixing a Broken HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang