18. BERDUA

760 74 30
                                    

Meski telah memulai pernikahan yang sesungguhnya, aku dan Zaki sepakat untuk menunda memiliki anak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Meski telah memulai pernikahan yang sesungguhnya, aku dan Zaki sepakat untuk menunda memiliki anak. Ini pilihan yang sulit, sebab Zaki sangat menginginkan kehadiran anak dalam kehidupan kami. Aku tahu, nyaris setiap pagi selesai lari keliling komplek, Zaki suka menyapa Dek Alia-anak tetangga kami yang baru berumur dua bulan, kalau kebetulan bayi cantik itu sedang dijemur ibunya. Beberapa waktu lalu aku menemukan buku Kamus Nama-nama Indah Untuk Anak di meja kerjanya. History browser-nya menunjukkan kalau Zaki sering mengunjungi situs-situs parenting.

Aku juga ingin memiliki anak, tapi tidak sekarang. Tidak tahun ini. Aku belum siap, secara fisik dan mental. Punya anak itu perlu persiapan matang. Setiap orang tua harus punya rencana pasti, supaya hidup sang anak tidak susah di kemudian hari.

Yang lebih utama, adalah kondisi kesehatanku. Dokter Bima menjelaskan bahwa kehamilan bisa berbahaya pada pasien epilepsi. Serangan kejang dapat membahayakan janin, juga nyawaku. Obat-obatan anti epilepsi yang kukonsumsi juga berisiko membuat janin cacat.

Perutku langsung mulas mendengar penjelasan itu, bagaimana jika selamanya aku tidak bisa memiliki anak? Memang ada pasien epilepsi yang hamil dan memiliki anak sehat. Tapi kesempatan tidak datang kepada setiap orang.

IUD dan spiral tidak ada dalam pilihanku saat menentukan kontrasepsi. Terlalu banyak obat-obatan yang kukonsumsi jika harus meminum pil atau suntik berkala. Dalam hal ini, Zaki mengalah lagi.

Zaki-ku adalah lelaki yang stabil, penuh perhitungan, dan penyabar. Dia mau melakukan apa saja buatku, meskipun harus menekan keinginannya. Aku kadang merasa Zaki terlalu sempurna seperti tokoh-tokoh pria baik hati yang kutemukan di novel-novel romantis.

"Belum tidur?" Zaki melepaskan dasi dan ikat pinggangnya lalu menciumku.

"Nungguin kamu," jawabku. Zaki pulang larut melulu beberapa hari terakhir. Kalaupun pulang cepat, pasti membawa setumpuk berkas yang membuatnya tetap sibuk di rumah. Entah bagaimana, aku merindukannya. "Mandi dulu sana."

"Sebentar lagi," katanya. Zaki menyeringai, mengelus permukaan bibirku yang basah dengan ibu jarinya, lalu melumat bibirku lagi.

Aku selalu suka ciuman Zaki. Aku suka bagaimana cara bibir dan lidahnya mengajakku menari. Panas dan basah. Rasanya lembut, bahkan dalam ciuman yang liar sekalipun.

Zaki mengerang ketika aku melepaskan jalinan bibir kami untuk bernapas. Ia tampak tidak rela, aku juga sebenarnya. Tapi aku tidak akan kemana-mana. Ia bisa menciumku kapan saja ia mau.

Zaki menghelaku bersandar di dadanya. Zaki punya rengkuhan paling nyaman yang pernah kurasakan, hangat seperti pelukan papa. Aku merasa aman dalam dekapannya. Seakan jika badai menerjang dan banjir menghadang pun, bersamanya aku akan baik-baik saja.

"Aku sering lihat kamu bengong. Kamu mikirin apa? Jangan banyak pikiran, aku gak mau kamu sakit."

Aku menggerakkan telunjukku di dadanya dengan gerakan memutar. "Gimana kalau yang aku pikirkan itu kamu?"

Fixing a Broken HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang