24. MAAF

615 74 7
                                    

Aku menggigil di bawah tatapan mama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menggigil di bawah tatapan mama. Matanya mencelang. Keningnya mengerut tidak senang. Dengan langkah panjang-panjang, mama mendekati ranjang, lalu berdiri di dekatku.

"Jawab Mama, kamu pernah hamil sebelumnya? Oleh siapa?"

Serapat apa pun menyimpan bangkai, baunya akan tercium juga. Aku menelan ludah dengan susah payah. Tenggorokanku mendadak kering, dan suaraku tercekat di dalam sana.

Aku bisa saja mengatakan kapan melakukan aborsi, umur berapa janin yang kubunuh mati, atau sehancur apa diriku ketika melakukannya. Tapi jika ditanya, 'oleh siapa?' hatiku sakit. Aku tak ingin menyebut nama lelaki itu, lelaki yang kupikir akan menjadi cinta pertama dan terakhirku. Mengingatnya aku selalu merasa tolol. Bagaimana bisa dulu, aku jatuh cinta pada lelaki yang tak bisa meraba perasaannya? Bagaimana mungkin, aku dulu mau-mau saja berbagi napas dan kehangatan dengannya?

Aku menutup mata erat-erat, mengusir bayangkan lelaki berengsek yang dulu khilaf kucintai.

"Kak!" suara mama melengking, tangannya mengguncang-guncang bahuku. "Siapa lelaki itu? Siapa yang menghamilimu dulu? Apakah Zaki--"

Tidak! Bukan Zaki orangnya. Dia begitu menghormatiku. Dia tak pernah menyentuhku seujung kukupun sebelum para saksi pernikahan kami menyatakan sah.

"Agam Ma, Agam...."

Mama terbelalak, telapak tangannya terasa dingin di bahuku.

"Anak itu...."

"Iya, Ma, aku pernah hamil oleh Agam ketika masih kuliah. Lalu aku menggugurkan bayinya ... aku--"

Bunyi rantang terjatuh menghentikan ucapanku. Di balik punggung mama, Mika berdiri dengan wajah pucat. Suara ribut itu membuat semua orang datang; papa, Zaki, dan Kak Zafran.

Kengerian menjalari seluruh tubuhku. Kini mereka tahu.

***

Sepertinya, aku tertidur sangat lama, mungkin semalaman, mungkin cuma tiga jam, aku tidak tahu, aku tidak melihat penunjuk waktu saat ini.

Mama bangkit dari kursinya saat mataku meliriknya.

"Kak...." bisiknya lirih, suaranya seperti menahan tangis. Tanpa diminta, mama memberikan segelas air dengan sedotan yang langsung kusambut karena haus.

Lalu aku merasakan sesuatu yang berlendir dan asin di mulut. Begitu sedotan terlepas, tetesan darah terlihat di ujungnya.

Tak butuh keterangan siapapun supaya aku mengetahui kebenarannya: aku kejang, dan tongue spatel terlambat menyangga lidahku dari gigitan gigi.

Kelopak mataku masih terasa berat ketika mama dan Mika mengajakku bicara. Mereka bertanya apakah aku ingin makan atau minum lagi. Aku hanya ingin tidur.

***

Entah perasaanku saja atau memang kenyataannya, keluargaku tak memandangku dengan cara yang sama. Mereka menjaga dan melayaniku dengan baik, tapi sentuhan mereka tak lagi sehangat dulu. Aku tak merasakan keintiman ketika Zaki menyuapiku makan dan menyeka mulutku yang belepotan, aku tidak lagi mendapat ciuman di kening dari mama dan elusan di kepala seperti yang selalu dilakukan papa seumur hidupku. Pun Kak Zafran yang selalu tersenyum dan menguatkanku bahwa hidup akan baik-baik saja, kini lebih sering membuang muka. Hanya Mika yang tidak berubah kepadaku.

Mika menaikkan sandaran tempat tidur karena punggungku terlalu lelah berbaring. Dia memotong-motong alpukat dan apel, lalu menyuapiku.

"Buka mulut lo, Zev. Badan lo bisa jadi sebesar lidi pulang dari rumah sakit ini kalau gak mau makan terus."

Mika tampak tenang, padahal kemarin ketika dia mengetahui kebenarannya, dia shock seperti mama.

Aku tersenyum tipis. "Terima kasih ya, gak ngejauh dari gue."

"Gak ada yang jauhin lo Zev," katanya.

Padahal jelas tak ada orang lain lagi di ruanganku selain dirinya. Padahal dia tahu orang-orang pergi.

"Maafin gue," kataku. "Meski kesalahan yang gue lakukan memang gak termaafkan."

"Hei," Mika mengelus pelan bahuku, "lo gak seharusnya meminta maaf sama gue. Lo gak salah apa pun sama gue."

Mika keliru. "Gue gak percaya sama lo, Mika. Makanya ketika mengetahui gue hamil, gue menutupinya dari lo...."

"Zevita ... gue memang sedih karena lo gak mengatakan hal sebesar itu kepada gue, padahal kita udah sering bilang sama semua orang kalau kita BFF, sahabat sampai mati. Tapi gue gak berhak memaksa lo menceritakan seluruh kehidupan lo sama gue. Setiap orang punya rahasia, dan gak ada yang salah dengan itu. Membayangkan betapa tertekan dan ketakutannya lo sampai memilih aborsi, gue gak tega untuk merasa kecewa." Mika mengelus rambutku. "Maafin gue karena gak peka."

Demi apa pun, aku beruntung memiliki Mika dalam hidupku. Darah mungkin lebih kental daripada air. Tapi bukan berarti orang yang tak memilili pertalian darah denganmu, tidak memiliki cinta dan peduli padamu.

Mama datang ketika kami mengurai pelukan. Pakaiannya sudah ganti, lebih rapi. Wajahnya juga lebih segar meski tak seceria biasanya.

Aku berpikir ini adalah saat yang tepat. Aku belum tentu masih bernapas esok hari, jadi aku mengatakannya sekarang, "Mama ... maafin Kakak."

Dan, hanya butuh kurang daru detik untuk mendapatkan kembali cinta mama setelah permintaan maaf itu.

Tubuhku direngkuh ke dalam pelukan paling hangat sepanjang masa; pelukan ibu.

"Anakku...." bisik mama sambil ubun-ubunku. "Maafkan Mama, Kak, seharusnya Mama gak marah sama Kakak...."

"Mama gak salah," kataku. "Mama pasti kecewa karena Kakak udah mematahkan kepercayaan yang Mama berikan. Kakak bukan anak baik, Ma. Mama berhak marah sama Kakak. Tapi jangan benci Kakak ya, Ma. Kakak menyesal pernah lebih mencintai lelaki itu daripada mencintai Mama. Kakak menyesal, dulu sering membohongi Mama demi bisa pergi berduaan dengan lelaki itu. Kakak menyesal sudah menentang Papa dan meninggalkan kalian demi kuliah di Malang dengan lelaki itu. Akhirnya ..., Kakak justru melakukan kesalahan besar. Ma ... tolong Kakak Ma ... bagaimana cara Kakak menebus dosa kepada janin yang Kakak bunuh itu...."

Napasku tersengal. Sekonyong-konyong, hari ketika aku menggugurkan bayi itu teringat lagi. Kejadiannya berputar dalam kepalaku seperti rekaman video.

Dokter berwajah dingin itu ..., obat-obatan yang disuntik dan diminumkan kepadaku, tekanan menyiksa di perutku ... janin yang meringkuk tak berdaya di antara kedua kakiku....

Tuhan pasti marah. Tuhan pasti tidak percaya lagi padaku, sehingga mengambil kembali janin di kehamilanku yang kedua--buah kasih sayang aku dan Zaki.

Aku histeris. Mama mengguncang bahuku. Daguku diangkatnya supaya kami bertatapan.

"Istigfar Nak, ingat Allah. Yang sudah terjadi tidak bisa diubah lagi. Semua orang pernah salah, semua orang bisa melakukan dosa. Jangan takut, Allah selalu terjaga, Kakak selalu bisa memohon ampun pada-Nya kapan saja."

Aku menyebut nama-Nya dengan terbata. Mama mengusap wajahku yang bersimbah air mata. Mika memberikan air padaku sehingga sekat yang mencekat di tenggorokanku sirna. Aku mulai bisa kembali bernapas teratur, perlahan-lahan.

"Tenang Sayang, ada Mama bersamamu," bisiknya. "Jangan pernah berpikir Mama akan membencimu, sebesar apa pun kekeliruan yang kamu lakukan. Mama mencintaimu sejak kamu masih berupa sel yang tak jelas wujudnya, Mama menyayangimu sampai selamanya. Selamanya dari yang paling lama. Jangan pernah ragu untuk pulang, mengadu, dan memuntahkan seluruh keresahanmu kepada Mama. Mama cinta kamu, Nak, cinta sekali...."

Sesungguhnya tindakan bodoh yang kuambil di masa lalu adalah karena ketidakpercayaanku kepada mama, kepada mika, kepada orang-orang yang sebenarnya memiliki kasih sayang tak terhingga untukku. Oh, Mama. Mengapa dulu aku bisa meragukan kasih sayang dan kesetiaan wanita ini? Wanita yang mewariskan darah dalam tubuhku. Wanita yang tak pernah mengungkit pamrih perjuangannya mengandungku. Wanita yang merelakan vaginanya koyak demi melahirkanku, dan memberi kehidupan dengan menyusuiku, siaga mengiringiku belajar melangkah, hingga kini mampu berlari.

Aku bertanya-tanya, apa aku layak disayangi sebanyak ini?

***

Fixing a Broken HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang