"Lelaki bernama Candra itu membuatku bingung. Ia datang dengan kesan pertama menyeramkan. Lambat laun ia bersikap manis. Namun kembali kasar. Aku rasa. Ada sesuatu atau bahkan 'seseorang' yang bersembunyi dalam diri Candra. Tapi aku tak tahu." - Nirwasita Ratih.
Sekolah mendadak gempar. Tertangkapnya Bram--murid kelas dua belas mantan kapten basket--karena mengedarkan narkoba membuat seluruh warga sekolah tercengang. Kegiatan basket seluruhnya diboikot karena selama ini Bram selalu dekat dengan anggota basket. Sekolah langsung sigap menyelidiki siapa saja yang ikut terlibat dengan Bram. Bagaimanapun juga masalah ini sangat mencemarkan nama baik sekolah.
Candra menjadi salah seorang dari beberapa anak yang hari ini setelah UNAS berakhir, dipanggil ke sekolah guna memberi info--sehari setelah Candra dan teman-temannya turun gunung--perihal Bram dan segala masalah obat-obatan terlarang itu. Sekolah mencurigai anggota Basket mengetahui perihal si Bram pengedar narkoba di sekolah. Atau bahkan salah satu anggotanya malah ada yang menggunakan.
"Benar, Candra. Kamu tidak terlibat?" Pak Ruzli menatap tajam anak didiknya ini dari balik kacamata bulatnya.
"Tidak, Pak. Saya tidak tahu apa-apa." Candra menjawab tenang.
Kepala sekolah berperawakan buncit itu mengangkat sebelah alisnya. Tidak percaya dengan apa yang barusan anak didik nakalnya ini katakan. Siapapun tahu bagaimana tabiat buruk Candra.
"Tapi kamu sering bertemu Bram, bukan? Saya perhatikan kamu juga dekat dengan anak itu. Setidaknya apakah Bram pernah bercerita apapun kepada kamu tentang barang haram itu?"
"Tidak, Pak. Saya berinteraksi dengan Bram hanya berurusan dengan basket," sanggah Candra sekali lagi.
Pak Rizal menghela napas. Dari banyak siswa di sekolahnya ini, Candra adalah dugaan-dugaan 'korban' dari segala masalah narkoba yang menimpa Bram. "Pernah kamu ditawari barang oleh Bram?"
"GAK, Pak!" tegas Candra. Ia mulai kehilangan kesabarannya. Kesal karena sedari tadi Pak Ruzli seolah memojokkan dirinya juga menggunakan narkoba.
"Begini ya, Pak. Saya ulangi sekali lagi. Saya memang mungkin anak bandel, tapi saya tidak akan mencoba barang terlarang itu. Saya tegaskan juga, setiap saya bertemu Bram, kami hanya berbicara soal basket! Tidak ada hal lain. Mungkin Bapak bisa bertanya pada anak lain. Permisi Pak," ucap Candra mengakhiri. Cowok itu lalu bergegas pergi meninggalkan ruang kepala sekolah.
"Candra! Kamu ingat kalau Bapak pernah mergokin kamu sedang berbicara berdua dengan Bram di warung pojok? Apa yang kalian bicarakan waktu itu?" tanya Pak Ruzli sebelum Candra sempat membuka pintu.
Langkah Candra berhenti, ia membalikkan badan menatap kepala sekolahnya itu dengan bingung. "Saya selalu nongkrong di warung pojok bersama teman-teman saya. Tidak pernah sendiri, apalagi hanya berdua dengan Bram." kata Candra sambil mengerutkan dahi. Ia sangat yakin tidak pernah berduaan bersama Bram di warunh pojok. Menghela napas kasar. Candra kemudian keluar dan menutup pintu dengan bantingan kasar.
Pria berumur enam puluhan itu menatap kepergian muridnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Menemukan sekali lagi, keanehan dalam diri seorang Candra Mahesa Daraswara.
***
"Kenapa lo?" Ratih bertanya menyelidik melihat wajah tertekuk Candra ketika cowok itu baru saja keluar dari ruang Kepala Sekolah. Ia memang dipaksa Candra ikut ke sekolah sekarang ini. Menemani cowok itu menghadap Pak Ruzli tentang kasus Bram.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE NEW YOU [Completed]
Teen FictionNyatanya ini lebih dari sekedar kutukan. Lebih dari mimpi buruk paling menyeramkan sekalipun. Mungkin kalimat itu yang bisa menggambarkan nasib Nirwasita Ratih Kusumastuti kala dirinya memiliki teman SMA--pada akhirnya menjadi kekasih--seorang Candr...