"Ahhh.. udah pagi ternyata." Naya menguap dengan mulut yang terbuka lebar. Matanya membuka secara perlahan. Cahaya matahari masuk melalui celah- celah fentilasi jendela. Melalui cahaya tersebut, terlihat partikel- partikel yang bergerak bebas mengitari satu sama lain. Tidak seperti biasanya, hari ini jadwal piket memaksa Naya untuk datang ke kelas lebih awal.
"Hai Nay." Rani menampakkan wajah cerianya pagi ini.
"Kenapa Ran? Tumben- tumbenan ceria gitu." Naya mendekati Rani yang sudah duduk manis di bangku dekat jendela. Tepat disampingnya sudah ada tas merah yang biasa Ia pakai saat sekolah.
"Gimana nggak seneng Nay, tadi aku ketemu Fero lho di parkiran. Kita ngomong- ngomong gitu," kata Rani dengan mata berbinar. Menanggapi cerita Rani, Naya hanya mengayunkan kepala beberapa kali ke atas dan bawah. Sampai akhirnya Shila datang mengambil posisi di belakang mereka berdua.
"Lagi ngomongin apaan nih? seru banget kayaknya?" celetuk Shila dengan meletakkan tas dibangku belakang.
"Itu tuh. Rani barusan ketemu sama Fero."
Tak lama kemudian, seseorang berjalan memasuki pintu meninggalkan jejak butiran tanah yang berasal dari sepatu. Siapa lagi kalau bukan Aris.
"Woy keris. Sepatumu nggak bisa diketok dulu apa? Kotor lagi tuh, udah disapu juga," bentak Shila padanya.
Shila bangkit dari posisi semula, matanya beralih menatap sapu yang sedari tadi Naya genggam. Tangannya bergerak perlahan mengambil alih sapu dari tangan Naya. Dengan langkah pasti, ia menghampiri Aris.
"Cepat sapu. Kalau nggak mau bisa aku sebar nih foto aibmu," kata Shila seraya menunjukkan foto Aris yang sedang tertidur dikelas dengan air liur yang menetes. Aris terkejut melihat foto, tangannya mencoba mengambil ponsel dari Shila. Namun gadis itu berhasil mengelak. Shila yang tertawa setelah melihat Aris yang pada akhirnya menyerah dengan sapu tersebut.
Bel sudah berbunyi, dengan segera Naya berjalan melewati gerbang sekolah menuju tepi jalan. Akhirnya setelah cukup lama menunggu, bus yang akan membawanya pulang kerumah tiba juga. Dari luar terlihat ramai. Akan tetapi, ia tidak punya pilihan lain. Mau tak mau bis ini harus tetap ia naiki. Tepat seperti perkiraan, semua bangku telah penuh. Terpaksa Naya harus berdiri di tengah- tengah kerumunan orang. Selama perjalanan dirinya hanya ngedumel tidak jelas. Dalam bus yang sudah sesak, pengap, seperti ini masih saja ada orang yang merokok. Maksud hati ingin menegur. Tapi apalah daya, mulutnya tak mampu berucap. Kakinya yang terinjak sana- sini membuat Naya bergerak beberapa kali memindahkan posisi.
"Ayo bu, masih kosong. Ayo masuk- masuk. Mbak- mbak yang di dalam tolong geser dikit. Biar ibu- ibu ini bisa masuk," ucap salah seorang kernet yang membuat Naya jengkel.
"Mas, Ini udah sesak nggak muat. Mau geser kemana lagi?" teriak Naya yang sudah tak mampu membendung kekesalannya.
"Masih bisa itu mbak. Dua dua," balas kernet itu asal.
"Kan kita yang ngerasain mas?" gerutu Naya dengan nada yang memelan. Ia mendengus sebal.
Sebuah suara berat muncul secara tiba- tiba yang sontak membuat Naya menoleh. "Hai, Nay," sapa Fero yang ternyata sedari tadi ada di samping Naya. Gadis itu hanya
membalas dengan seulas senyum termanis yang pernah ia miliki. Ada perasaan malu setelah tahu bahwa ada Fero. Apalagi jika ia melihat tingkah Naya pada si Kernet. Fero bangkit dari bangkunya. "Mau duduk?" katanya sambil menunjuk bangku yang baru saja ia duduki.
"Nggak usah Fer, makasih." Dengan sedikit anggukan Naya mencoba meyakinkan. Meski dalam hatinya ia sangat ingin merebahkan tubuhnya di kursi. Naya terdiam sejenak, menatap barang bawaan yang banyak dan tas punggung yang super berat. Naya tersadar dari lamunan setelah merasakan sebuah tangan yang memegang kedua bahunya, mendorong dan membuat Naya terduduk di bangku kosong yang sekarang sudah ia tempati. Tak butuh waktu lama Naya mengucapkan terima kasih kepada Fero meskipun dirinya masih terkejut.