"Udah dong Nay. Jangan sedih mulu. Senyum dong. Kayak gini nih." Shila memperlihatkan deretan giginya.
Naya memaksakan seulas senyum. "Kenapa semua jadi kayak gini sih La. Salahku tuh apa? Dan masalah orang tuaku. Aku takut kalau mereka sampai bercerai. Sebelumnya mereka udah pisah rumah. Bahkan mungkin sampai sekarang." Naya terlihat lesu. Ia tidak bisa menahan air matanya. Tetapi Naya berusaha terlihat tegar.
"Gini deh. Satu- satunya jalan ya kamu harus ngomong sama mereka Nay. Kalau nggak berani, kasih surat aja gimana?" Shila menyerahkan dua lembar kertas dan sebuah pena untuk Naya.
Sepertinya itu bukan ide yang buruk. Naya mulai menulis semua perasaannya pada papa dan mamanya.
Untuk Mama
Ma, Naya nggak minta apa- apa dari mama. Naya hanya minta mama sedikit ngertiin papa dan aku. Jangan perduliin kata orang lain. Naya nggak pernah masalah kok jika selama ini mama nggak pernah nemenin Naya buat sekolah, ngaji,atau jalan- jalan. Naya nggak keberatan kalau mama sibuk sama kerjaan. Begitu juga papa. Pulang dan tolong selesain masalah kalian. Bukankah sudah kewajiban istri untuk menjaga rumah suami dan anaknya? Tolong bertindaklah dewasa. Mama udah bukan anak remaja lagi.
Untuk Papa
Pa, Naya mohon sama papa buat bujuk mama pulang. Kasihlah perhatian sedikit aja buat mama. Jangan Cuma diam Pa. Memang terkadang diam itu diperlukan, tapi nggak untuk situasi saat ini. Apa kalian nggak pernah mikirin gimana perasaan anak kalian? Terkadang aku merasa nggak punya siapa- siapa di dunia ini, saudara nggak punya, bahkan temanku seakan menghilang satu- persatu. Papa nggak tau kan masalah yang aku hadapi? Tolong berpikirlah dewasa, selesain masalah kalian. Cobalah mengerti satu sama lain. Yang lalu biarlah berlalu. Kalian hanya harus melihat masa depan.
Naya melipat kertasnya dan menyimpannya di tas. Ia berencana untuk memberikan surat ini kepada orang tuanya. Ia menyeka air matanya beberapa kali. Untuk saat ini tissue adalah sahabat ketiganya setelah Shila dan Rani.
"Udah? Sekarang aku mau kasih ini buat kamu." Shila mengeluarkan tumpukan buku. "Besok lusa ada tes beasiswa di Australia. Kamu harus ikut. Daripada kamu mikiran
masalah- masalah itu. Mending kamu fokus sama mimpi kamu."
Naya mengatur nafasnya beberapa kali. Tangannya mengepal kemudian memukul tumpukan buku itu dengan mantap. "Ya. Kamu benar La. Aku harus bangkit. FIGHTING!" Tak lama setelah mengatakan itu, tubuhnya terkulai lemas. Ia menangis lagi. "Tapi susah La. Kenapa papa, mama, Fero, Rani, bahkan Reno bisa setega ini sama aku."
"Yahhh... gimana sih. Tadi udah semangat kok sekarang nangis lagi." Shila berbicara dengan nada melengking. "Oke. Besok aku bakal ngomong sama semuanya. Dan untuk surat itu biar aku aja yang ngasih ke mama sama papa kamu."
***
Mulai saat ini Naya hanya akan fokus pada mimpinya, menjadi seorang fotografer profesional. Ia akan melupakan semua masalahnya dengan Fero, Rani, dan kedua orangtuanya. Ia yakin seiring berjalannya waktu semua pasti akan baik- baik saja. Sementara Naya sibuk dengan pekerjaan barunya, lain halnya dengan Fero yang tak terdengar lagi kabarnya. Kepindahan Fero baru diketahui Naya akhir- akhir ini. Sedangkan Rani terlihat menyesali perbuatannya. Dia kehilangan cinta sekaligus sahabatnya. Adapun Reno yang sepertinya sudah menemukan pengganti Naya, akan tetapi dirinya masih menyimpan benci pada Rani yang telah membohonginya dan menyebar videonya bersama Naya.
Sejak saat ini Naya memiliki kebiasaan baru. Dia mencetak gambar Murdoch University dan menempelnya di samping daftar mimpi. Setiap ada keinginan untuk menyerah ataupun rasa malas yang singgah, Naya akan melihat gambar itu dan meyakinkan dirinya kalau ia pasti bisa belajar disana. Selain itu hampir setiap hari ia melihat dan memegang gambar itu dengan mulut yang senantiasa mengucap doa, dan shalawat sebanyak 200 kali. Mungkin ini terdengar konyol, tapi tidak ada salahnya jika ia mau mencoba. Dia selalu menanamkan pada dirinya bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah milik Tuhan. Maka ia harus meminta kepada Tuhannya.
Waktu yang dimiliki Naya sangatlah singkat untuk menuju tes tersebut hanya satu minggu. Ia tidak akan menyia- nyiakannya begitu saja meski bayang- bayang masalah selalu menghampirinya. Setidaknya Naya bisa memiliki tiket untuk belajar di Murdoch University sebelum dirinya melaksanakan ujian kelas 3.
Sekarang Naya terduduk disebuah perpustakaan sekolah ditemani Shila. Hampir setiap hari mereka selalu ke tempat ini. Tiada hari tanpa buku di tangan Naya, sehingga untuk menghilangkan stress yang bisa saja muncul, ia selalu menyempatkan diri untuk mendengarkan musik disela- sela belajarnya.
Naya mencopot earphone dari telinga ketika seseorang memanggilnya. Bukan Shila yang memanggil, tapi seseorang yang lain.
"Iya. Rani? Kenapa?" Naya tampak terkejut dengan kedatangan Rani. Sepertinya dia tidak akan berbuat jahat padanya lagi. Ada gurat penyesalan yang tergambar di wajah gadis itu.
"Mmm.. Aku... mau minta maaf sama kalian Nay, La." Rani menunduk malu, ia tidak berani menatap Rani apalagi Shila.
Shila hanya diam mengamati Rani berbicara. Sedangkan Naya dengan cepat membalas permintaan maaf Rani. "Seharusnya aku yang minta maaf sama kamu Ran, aku nggak bermaksud--."
Rani segera memotong perkataan Naya. "Nggak Na, aku yang minta maaf udah salah paham sama kamu dan Fero. Seharusnya aku tahu kalau cinta nggak bisa dipaksain. Kalian mau kan maafin aku?" Rani menoleh ke arah Naya dan Shila bergantian.
Naya mengangguk tersenyum, namun setetes air juga ikut keluar dari matanya.
"Lah Nay, kok kamu malah nangis sih. Aku jadi ikutan nangis nih." Rani memeluk Naya erat- erat. Di hati kecilnya yang paling dalam, sebuah pintu serasa terbuka dan cahaya yang masuk membuat semuanya menjadi terang. Rasa benci dan dendam seketika menghilang.
Rani melepaskan pelukannya dari Naya. Ia melirik ke arah Shila. "La, kamu nggak mau maafin aku? Aku bener- bener minta maaf La."
Shila terdiam sebelum akhirnya ia berdiri dengan muka yang masih masam. Ia berjalan perlahan dan tersenyum kemudian memeluk Naya dan Rani secara bersamaan. Semua terlihat bahagia. Hari ini beban Naya sedikit berkurang. Akhirnya ia berhasil mendapatkan sahabatnya kembali.
"Oh ya Nay, ini ada surat buat kamu. Tenang aku belum buka isinya kok." Rani menyodorkan sebuah amplop kepada Naya.
"Dari?" Naya menerima uluran surat dari Rani. Ia mencoba membukanya namun ditahan oleh Rani. Ia memintanya agar membuka surat itu jika Naya sudah sampai di kosnya.
t;texVv7