Bab 10 - The Greatest Fear

434 39 4
                                    

"Sepertinya kita tersesat." Vader memperhatikan sekelilingnya dengan heran. Karena sejak tadi kami memang hanya berputar-putar dalam hutan ini.

"Lalu, bagaimana cara kita menemukan Pohon Kematian?" Pertanyaan Artemis hanya mendapat kebisuan dari kami.

Seraya memperhatikan sekitar, aku berkata. "Lebih baik kita istirahat dulu. Obati luka-luka kalian. Setelah ini, kita akan kembali mencari Sang Peramal," kataku dengan suara rendah. Mereka menurut, kemudian turun dari kuda masing-masing.

Sedang sebagian dari kami istirahat dan mengobati luka, Pangeran Alfried dan Legolas pergi untuk mencari air disekitar hutan.

Persediaan air dan makanan kami mulai menipis. Menempuh perjalanan selama satu minggu tanpa makan dan minum adalah hal yang mustahil. Ditambah tubuh yang lelah dan penuh luka-luka karena menghadapi para monster kiriman Ratu Arora yang selalu menghadang disetiap perjalanan.

"Sudah hampir satu hari kita berkeliling hutan. Tapi, kita sama sekali tak menemukan petunjuk apapun tentang Pohon Kematian," kata Vader membuka percakapan. Gurat kelelahan tergambar jelas diwajahnya.

"Hutan ini seolah sedang mempermainkan kita. Kita dibuat berputar-putar tanpa tahu arah yang benar." Valdish menimpali. Ia membantu Perwira Vader mengobati lukanya dengan menempelkan tanaman obat yang sudah dihaluskan, untuk membantu mengeringkan luka.

"Benar, kita selalu berakhir ditempat yang sama. Padahal, kita sudah berjalan cukup jauh ke dalam hutan," sambung Artemis.

Aku hanya diam mendengar perbincangan mereka. Terhanyut dengan pikiranku sendiri. Aku beranjak, berjalan sedikit menjauh diikuti tatapan Lean yang tak pernah lepas dariku. Aku hanya ingin menyendiri untuk sejenak. Mencoba mencerna semua kejadian mengerikan yang terus terjadi dihadapanku.

"Apa ada sesuatu yang mengganggumu, putri?" tanya Lean yang entah sejak kapan sudah di belakangku.

Aku berpaling, memandangnya sekilas.
"Tidak," jawabku singkat seraya menggeleng pelan. Aku sedikit enggan mengatakan kegelisahanku padanya.

"Lukamu juga harus diobati, putri," katanya lagi sembari duduk disampingku.

Aku memperhatikan luka-lukaku yang sudah mengering dan perlahan sembuh, yang masih menyisakan bekas dikulitku. Mungkin aku bisa bersyukur karena kekuatan Fairies tersebut, tubuhku bisa menyembuhkan luka-luka ini dengan sendirinya.

Aku tersenyum menatapnya. "Tidak apa-apa, pangeran. Luka-lukaku sembuh dengan sendirinya. Tak perlu mencemaskanku."

Lean mengangguk dan tersenyum samar. "Benar. Aku melupakan kenyataan bahwa kau adalah seorang Fairies," ujarnya dengan nada getir. Sekilas, aku melihat wajahnya berubah muram.

Ketika tatapanku bertemu dengan sepasang iris biru safirnya yang menatap sendu. Aku mencelos. Menghindari sorot matanya yang seolah membuat sesuatu yang berdetak dalam rongga dadaku berpacu dengan cepat. Seakan ia ingin melompat keluar dari dalam rongga dadaku.

"Apa kau marah padaku? Sejak beberapa hari yang lalu, kau terlihat menarik diri dariku." Dia membuka suara setelah jeda beberapa saat.

Aku menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaannya. "Ku pikir, kau yang marah," kataku dengan lirih tanpa menatapnya. Aku menyandarkan punggungku pada batang pohon. Menarik napas dalam berkali-kali, seolah sudah lama aku tak melakukan hal ini dan kini membuatku sedikit merasa rileks.

Lean masih menatapku dengan sorot matanya yang sendu. Membuatku kembali mengalihkan pandanganku ke arah lain. Aku benci dengan tatapan mata itu, yang selalu menekan hatiku.

"Kau tahu bagaimana perasaanku padamu, putri," ujarnya lirih disertai dengan desahan napas berat.

Apakah aku baru saja memberi beban yang berat padanya?

FALLERYA : Legend of FairiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang