ENAM

3.5K 301 21
                                    

Digo mengerang kesal. Pasalnya ponsel yang dia taruh di bawah bantal terus saja berdering. Baru saja Digo nyaris terlelap --setelah semalaman suntuk memikirkan tentang Sisi dan laki-laki sialan yang di jodohkan dengan gadisnya itu di tambahan lagi omongan tante Karin mengenai masa depannya untuk melanjutkan bisnis keluarga-- namun si penelpon seperti enggan memberikannya waktu beristirahat, padahal jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari.

Menghembuskan napas keras dan bangkit dari posisi tidurnya, Digo akhirnya meraih benda persegi itu dari bawah bantal. Menatap layar sejenak sebelum mengangkat panggilan itu.

"Ck, ngapain sih nih anak?" Gumam Digo senewen dan menggeser layar ke navigasi hijau, kemudian menempelkan benda mungil itu ke telinganya.

"Ndu, lo harus banget ya nelpon gue tengah malam begini?" Seru Digo seraya berdiri dari kasur dan melirik jam di dinding kamarnya. Pukul 02.15 wib.

"Gue di depan rumah lo, Dig!"

"Huh?" Digo membelalak. Melirik ke arah jendela kamarnya tidak percaya. "Lo waras?"

"Cepetan bukain pintu! Gue ke dinginan nih!"

Digo berdecak. Melempar asal ponselnya ke atas kasur dan segera turun menuju pintu utama rumah besarnya.

.
.
.

"Kok lo yang buat kopinya?" Tanya Pandu begitu Digo meletakkan secangkir kopi di atas meja.

Digo memutar bola matanya dan menghempaskan diri di samping Pandu.

"Lo gak lihat jam, heh? Sebagian manusia di kota ini udah tidur nyenyak di kasur. Lo aja yang kurang kerjaan bertamu malam-malam begini. Gak inget sekolah lo besok?" Digo menyesap kopinya.

Pandu tersenyum kecut. Meraih gelas kopi dari atas meja dan juga ikut menyesapnya setelah itu dia menghela napas keras.

"Kenapa lo? Galau?" Tanya Digo menyindir  namun dengan raut wajah serius.

Pandu diam cukup lama. Tampak berfikir dan lagi-lagi menghembuskan panas keras.

"Nyokap gue masih aja ngejodoh-jodohin gue sama Raina," gumam Pandu akhirnya.

Digo mengerjab dan untuk pertama kali di lihatnya Pandu tampak begitu murung. Belum pernah sekalipun Digo melihat sahabatnya ini sekacau sekarang. Bahkan, kejadian dua tahun yang lalu itu pun, masih mampu membuat Pandu tersenyum walau Digo tau seperih apa hatinya.

Ya, Pandu benar! Pandu lebih dahulu merasakan sakit hati daripada dirinya. Sakit yang mungkin lebih terasa sakit dari yang sekarang Digo rasakan.

Digo tersenyum tipis, menepuk pelan pundak Pandu.

"Bedanya kita, gue diputusin karena semua memang salah gue,Ndu! Tapi lo... lo di campakkan hanya karena orang lain yang lebih bisa buat dia nyaman!" Ucap Digo lirih. Pandu menoleh menatap lekat sahabatnya itu.

"Sebaiknya lo cerita yang sebenarnya sama nyokap lo deh, Ndu,"

Pandu menghela napas.

"Dimata nyokap gue, Raina itu cewek sempurna. Mana mungkin dia percaya kalau Raina tega ninggalin gue demi cowok lain,"

"Ternyata, nyokap lo lebih sayang sama Raina dari pada sama lo," kekeh Digo.

Hening beberapa saat dan Pandu kembali menatap Digo yang mendadak tampak murung.

"Ngomong-ngomong,  lo sendiri?" Kini giliran Pandu mengintrogasi sahabatnya itu.

Digo diam begitu tenang. Dengan perlahan menyesap harum kopinya yang memberikan ketenangan.

HURTBEAT (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang