Kembali ke Konoha

5.1K 505 39
                                    


Hinata berkali-kali mengelap keringat di dahi dan lehernya. Udara Suna bahkan masih cukup panas untuk membuat seseorang berkeringat meskipun hari sudah sore dan cukup berangin. Sesekali angin kencang menerbangkan surai indigonya, membuat Hinata makin merengut. Ayolah! Di udara seperti ini ia bahkan belum mandi tiga hari. Hinata benci dengan rambutnya yang terlihat lebih kusam dan lepek. Terutama bau tubuhnya.

"Kau tak perlu mengendus baumu sendiri Hinata!" guyon Kiba. Wajahnya terlihat sangat menyebalkan. "Akamaru dan aku bahkan bisa mencium baumu dari jarak tiga meter loh!" lanjutnya setengah tertawa.

Akamaru ikut menggonggong setuju.

Hinata merutuki dirinya yang duduk di kursi roda dengan catatan 'tidak boleh melakukan apa pun' yang ditekankan berkali-kali oleh duo ninja medis paruh baya milik Suna. Memang perjalanan dari Suna ke Konoha akan cukup panjang dan melelahkan. Hinata harus menyimpan tenaganya sebisa mungkin –mengingat kini aliran cakranya sedang diputuskan total. Gadis ini menimang, apakah melempari Kiba dengan sepatunya akan termasik kategori 'melakukan apa pun'.

"Hentikan Kiba!" ujar Shino menaikkan kaca matanya yang sama sekali tidak melorot.

Kiba berhenti tertawa, namun wajah usilnya belum sepenuhnya reda.

Dari sudut mata pucatnya Hinata melirik ke arah pemuda bulan. Sasuke berdiri agak menjauh dari semua orang. Tubuhnya bersandar pada dinding pembatas, tangannya bersedekap dengan raut wajah yang datar. Sasuke balas memandangi Hinata, seolah sadar tatapan gadis itu tertuju padanya. Hinata membuang muka.

Malunya! Hinata berharap Sasuke terlalu acuh dan tak mendengar percakapan mereka barusan tentang... yah, bau tubuhnya. Ah! Memalukan! Sebagai seroang ninja memang Hinata sudah terlatih untuk survive dalam keadaan apa pun. Kiba dan Shino pun seharusnya sudah banyak melihat sisi buruk seperti tidak mandi, tertidur dengan posisi konyol, atau apa pun itu selama meraka menjalankan misi. Hinata tak tahu mengapa ia harus malu kali ini.

Sebuah lampu imajiner menyala di kepala gadis itu.

Ini pasti karena ia yang sudah terlalu lama absen dari dunia shinobi. Dia sudah terlalu dimanja oleh kehidupan heiress yang penuh peraturan tentang kebersihan, keindahan, dan keanggunan. Hinata sudah tak terbiasa dengan pertarungan, dengan keringat, dan bau badan.

Beberapa menit berlalu dengan keheningan, suara hentakan kaki pertama kali memecah sunyi di atap gedung Kazekage tersebut. Memang sejak tadi ninja-ninja Konoha ini diminta menunggu di atap. Temari datang bersama Matsuri dan beberapa anbu bertopeng.

"Maaf terlambat. Kami baru saja menerima pesan darurat" ujar Temari berjalan mendekati Hinata.

Wajah kasar perempuan itu melunak seiring dekat mendekatnya jarak antara mereka. Kipas raksasa yang tadinya ia pegang ia sampirkan lagi ke punggungnya. Temari sengaja berlutut supaya menyamakan tingginya dengan Hinata yang duduk di kursi roda.

"Apa kau lelah?" tanya Temari keibuan. Kankuro pasti akan menangis bombay jika melihat kakaknya dalam mode 'ke-perempuan-an', mode yang belum pernah ditujukan pada lelaki pengguna jurus boneka itu.

Hinata menggeleng. Dia sama sekali tak melakukan apa pun dan bicara apa pun, bagaimana mungkin dia lelah.

Temari mengusap rambut indigo gadis itu. Tak selembut pertama kali ia mengelusnya. Temari ingin tertawa. Sisi jahilnya memberontak ingin membuat lelucon tentang itu. Tapi innernya setengah mati memborgoll hasutan itu. Demi calon adik ipar idamanku..!!! batinnya.

"Nee-san. Utusan dari Konoha sudah datang"

Hinata menoleh. Seorang laki-laki dengan wajah bertato berdiri tiba-tiba di samping Temari. Hinata sama sekali tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dulu, dia bahkan bisa dengan mudah merasakan kehadiran seseorang.

Sekai no Fuin (Segel Dunia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang