"Akhir yang Tidak Memihak"
.
.
.
"Okaa-san! Okaa-san!"
"Ya, Himawari" Hinata menunduk mensejajarkan tingginya dengan si putri bungsu. Gadis kecil berambut indigo yang serupa rambutnya itu terlihat manis dengan gaun putih berhiaskan bunga matahari di bagian pinggang.
"Apa Tou-san dan Nii-san akan ikut dengan kita?" tanya gadis kecil itu terlihat bersemangat.
Hinata mendudukkan Himawari di kursi depan meja kaca. Kedua tangannya menyisir rambut Himawari membentuk ponytail yang menggemaskan. Hinata sendiri bangga dengan pekerjaannya.
"Tentu saja sayang. Ini adalah pernikahan sahabat baik ayahmu, juga guru kakakmu. Tidak mungkin mereka tidak akan datang" jawab Hinata.
Himawari beranjak dari meja kaca menuju kasur. Di atas kasur itu terletak sebuah kado yang telah selesai dibungkus. Ia sedikit cemberut saat ingat tadi siang ia tidak jadi ikut membantu karena tertidur. Padahal membungkus kado adalah kegiatan yang disenangi bocah 6 tahun itu.
"Kami pulang!" teriak suara dari pintu.
Himawari bergegas menyambut ayah dan kakaknya. Keduanya terlihat letih dan berkeringat.
"Konohamaru-sensei bahkan tidak peduli soal pernikahan ini. Dia tetap memaksa kami latihan sampai jam segini!" teriak Boruto berlari menuju kamar mandi. Himawari tertawa melihat kerusuhan yang ditimbulkan kakaknya. Ia yakin mamanya pasti akan marah melihat jejak lumpur yang dibawa kakaknya itu ke dalam rumah.
"Tou-san, tadi siang aku ketiduran. Aku jadi tidak ikut membungkus kado untuk paman"
Naruto membelai puncak kepala putrinya dan tersenyum. "Apa kau ikut pergi membeli kado bersama Okaa-san?" tanyanya. Himawari mengangguk.
"Kalau begitu, kau sudah terlibat dalam misi membuat bahagia paman" ujar Naruto membesarkan hati sang putri. Himawari tampak bahagia dengan itu.
"Ayah mandi dulu ya" ujar Naruto berhanjak menuju kamar.
Di depan meja kaca, Hinata duduk memandangi dirinya. Rasanya, ia baru saja mengalami mimpi panjang yang tak bisa ia ingat apa.
"Kau cantik" puji Naruto. Lelaki itu telah sampai di belakang istrinya. Ia ingin sedikit menggoda, mungkin dengan menciumi lehernya, Hinata akan bersemu manis seperti tiap kali istrinya itu tersipu malu.
"Ada yang aneh, Naruto" ujar Hinata. Naruto mengerutkan keningnya. Ia menatap istrinya erat, penasaran dengan pernyataan itu. Hinata bukan tipikal istri manja yang selalu mengadu soal kesulitannya. Bahkan lebih sering Naruto baru tahu ada masalah yang dialami istrinya saat masalah itu sendiri telah selesai.
"Ada apa?" tanya Naruto. Dalam hatinya, ia sudah bersiap menghajar siapa saja yang membawa kesedihan pada iris Hinata.
"Aku bermimpi sangat panjang. Aku seperti melupakan sesuatu. Hatiku, sakit"
Hujan mampir di mata byakugan. Naruto tak tahu harus bagaimana. Ia pandai menghajar orang, tapi kikuk urusan menghentikan air mata wanita. Hinata jarang menangis. Apalagi di depannya.
"Ini hari pernikahan Sasuke. Ini hari yang menggembirakan. Jangan menangis, Hinata" Naruto membelai puncak kepala Hinata.
Hinata ingin menangis lebih deras. Namun ia sadar kehadirannya dengan mata sembab akan menimbulkan kesan buruk pada sang Hokage. Ia menguatkan diri. Mencoba menepis seluruh rasa sedih yang datang bertubi-tubi padanya.
"Tenanglah, sayang. Ada aku disini"
Naruto memeluk Hinata sangat sangat erat.
...
Keluarga kecil sang Hokage langsung menarik perhatian seketika mereka datang ke kompleks Uchiha. Himawari menggandeng tangan ibu dan ayahnya senang. Berbeda dengan Boruto yang langsung menghampiri Shikadai dan teman-temannya yang lain di akademi ninja.
Hari ini adalah hari menggembirakan. Hari ini, status Uchiha terakhir akan resmi lepas dari pundak si bungsu Uchiha. Hari ini, akan ada seorang gadis yang ikut menyandang marga itu, lalu nanti suatu hari, akan ada penerus-penerus baru untuk klan besar Uchiha.
Ditengah-tengah perayaan, pemuda bersurai kelam dengan iris onyx tersenyum tiap kali orang-orang datang mengucapkan selamat. Di sampingnya, seorang perempuan gulali memegangi tangan pemuda itu tanpa lepas sedikit pun.
"Selamat atas pernikahan kalian, Sakura-chan" ujar Hinata memberi selamat.
Sakura memeluk Hinata dan Himawari bergantian. Si merah jambu berbisik menanyakan beberapa hal yang membuat Hinata bersemu dan balas berbisik lagi ke Sakura. Kedua perempuan itu tertawa pelan.
"Selamat, Teme!" Naruto hendak memeluk sahabatnya itu, namun berhasil dihindari sang raven tanpa melepas istrinya.
"Jangan coba-coba, Dobe!"
"Kenapa? Kita kan teman baik!"
"Laki-laki tidak berpelukan dengan laki-laki lain!"
"Tapi, Naruto bahkan adalah ciuman pertamamu, Sasuke-kun" Sakura terlibat dalam pertengkaran konyol itu. Barangkali benar, lelaki selalu menjadi bocah tiap ia bertemu sahabat laki-lakinya.
Hinata tertawa saat kepalanya memutar kilas balik kejadian itu. Himawari berteriak tak percaya dan menuntut penjelasan. Namun, keempat orang dewasa di dekatnya hanya tertawa.
...
"Selamat atas pernikahan kalian, Sasuke-kun" ujar Hinata. Wajahnya keorenan berkat sinar Matahari terbenam yang tepat mengenai mereka. Keduanya berdiri canggung sejak beberapa lama karena ditinggal Naruto dan Sakura yang bersikeras menyelesaikan perlombaan konyol yang belum menemukan pemenang di antara mereka.
Sasuke tersenyum penuh makna. Onyxnya menatap dalam iris putih pucat sang gadis. Ia selalu mengingat bulan saat melihat gadis itu.
"Apa kau tahu aib terbesar keluarga Uchiha? Uchiha menari di waktu senja hari-hari yang dianggap membahagiaan." ujar pemuda itu.
Hinata tertawa sebentar sebelum bertanya, "Kenapa harus di waktu senja?"
"Kau tahu? Orang-orang sangat senang memandangi senja saat dia sedang bersedih"
Hinata terdiam sebentar. Kemudian ia bertanya: "Lalu, apakah kau sedang berbahagia saat ini? Atau justru bersedih?"
Hening menguar di antara mereka. Hinata menyesali pertanyaannya yang terlempar begitu saja. Tentu saja hari ini adalah hari menggembirakan bagi pemuda raven. Ini hari pernikahannya. Orang mana yang tidak bahagia di hari pernikahannya?
Sasuke mengeluarkan pedangnya, memasang kuda-kuda seperti hendak bertarung. Namun pergerakan Sasuke berikutnya membuat Hinata terpana. Uchiha yang arogan dan angkuh terlihat menawan dengan pedang dan gerakan-gerakan yang terkadang lembut, dan terkadang tegas.
Tarian itu jelas memancing seluruh perhatian tamu. Bahkan Naruto dan Sakura berhenti melakukan perlombaan makan mereka. Dengan reflex yang bagus, pembawa acara lekas-lekas berbicara lewat microphone: "Persembahan tarian yang begitu indah dari mempelai pria pada pengantin perempuan kita"
Orang-orang bertepuk tangan meriah. Diantara seluruh suara tepuk tangan dan siulan, Hinata dapat menangkap gerakan bibir sang raven.
"Terimakasih telah hidup, Hinata"
Senja itu, Hinata berharap ia bisa terlempar pada sebuah dimensi dengan waktu yang terhenti.
TAMAT
Hai hai minna-san!!!
Terimakasih banyak telah membaca Sekai no Fuin sampai akhir. Choco sadar betul sering mengecewakan pembaca sekalian karena jadwal update yang berantakan dan selalu lamaa. Sekali lagi, terimakasih banyak yang telah setia membaca fic ini sampai akhir.
Ini fic multichapter pertamaku. Bahagia banget rasanya berhasil menyelesaikan fic ini. Next time bakal lebih semangat lagi dan bakal mencoba menulis lebih giat.
See you in the next book.
Love, chocohug.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekai no Fuin (Segel Dunia)
RomanceTentang kita, dan dunia yang kita tinggali. Aku yakin bahwa segala sesuatu yang ditakdirkan bertemu, pasti akan bertemu. Selebihnya hanya masalah jalan cerita. Namun meski begitu, di dunia seperti apa pun, aku pasti akan tetap bersyukur pernah berte...