Aku bertemu dengannya ketika berada di perpustakaan sekolah. Entah memang settingan belaka atau dia yang terlalu mendramatisir, dia menabrakku.
Semua buku yang ada pada pelukanku jatuh.
Tentu bisa kalian tebak bagaimana kelanjutannya.
Ya, aku berjongkok untuk mengambil buku-bukuku yang jatuh berserakan, dan dia membantuku memungutnya.
Saat sudah mengumpulkan semua bukuku, dia memberikannya padaku. Ya. Aku masih ingat dengan jelas. Kedua bola mata itu. Menatapku teduh, seperti berada dibawah sebuah pohon rindang yang sejuk.
"Ah, terima kasih," kataku.
"Tentu, sama sama. Dan maaf sudah menabrakmu," katanya sembari tersenyum.
Ada cacat yang terlihat di ujung garis bibirnya. Cacat yang dia miliki tidak membuatnya menjadi buruk rupa, justru membuatnya semakin menawan.
Itulah yang kebanyakan orang katakan tentang lesung pipi.
"Bisa kubantu bawakan bukumu?" Tanyanya.
Aku menggeleng. "Tidak perlu. Aku bisa sendiri,"
Aku pergi meninggalkannya tanpa senyuman sedikitpun. Dan langkahku terhenti ketika ia berteriak,
"Hey! Terima kasih nama dan kelasnya!" Katanya sambil tersenyum lebar dan melambai-lambaikan sebuah kertas berwarna biru yang terbungkus plastik mika.
Aku tidak peduli dengan apa yang dia lakukan, dan melanjutkan berjalan lagi. Dan kemudian terhenti lagi.
Oh sial. Kartu perpustakaanku.
Dia mengambilnya.
Ah, payah sekali. susah-susah aku mencari buku-buku ini di rak yang tinggi, dan akhirnya gagal kupinjam hanya karena seorang laki-laki yang tak kukenal menabrakku.
Dan mengambil kartuku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Senja
Roman pour AdolescentsCinta. Untuk apa cinta dihadirkan dalam dunia ini, jika hanya untuk merusak sebuah jalinan persahabatan?