2 : Tukar :

80K 9.5K 510
                                    


2

: t u k a r :


Bogor, 2007



"Hah, demi apa, demi apa!"

Seruan tadi berasal dari Novi usai Kintan menceritakan kronologi kejadian hingga dia bisa tertukar sepatu kepada gadis itu. Selepas tahu sepatunya tertukar, Kintan dan temannya itu berusaha melacak siapa pemilik sepatu yang tertukar ini setelah acara jurusan mereka selesai. Dan setelah dilacak—dengan pengetahuan dan relasi di kampus yang ada, mereka akhirnya tahu siapa pemilik sepatu yang kini dikenakan Kintan.

"Lo tahu nggak sih, siapa sebenarnya cowok yang punya sepatu itu?" tanya Novi sambil menunjuk sepatu Kintan. Tiga hari telah berlalu dari insiden sepatu yang tertukar. Barusan saja, Novi dan Kintan bertanya kepada kakak tingkat ber-handsaplast yang saat dulu ditemui Kintan musala. Kakak tingkat itu bernama Ernos. Dan ternyata, bukan Ernos-lah pemilik sepatu itu, melainkan lelaki lain yang saat itu ke musala bersamanya.

"Nggak tahu," ujar Kintan.Dia mengangkat bahu. Karena sosok pemilik sepatu yang dicarinya sedang tidak kuliah hari ini, akhirnya Kintan memilih kembali dari gedung Fakultas Kehutanan untuk menemui Ernos, menuju gedung Fakultas Pertanian bersama Novi. "Emang dia siapa, Nop?"

"Kin," Novi memberinya tatapan lewat sudut mata, "Mahesa Silalahi itu Jendral Komisi Kedisiplinan pas kita OSPEK mahasiswa baru!"

Mata Kintan membeliak lebar. "Hah, Jendral Komdis?"

"Iya! Hadheh!" Novi menghela napas kasar. "Lo udah simpan kontaknya Kak Mahesa, kan?"

"Udah, kok." Kintan melirik ponsel di tangannya. "Gue ngomong apa, ya? Nggak enak, kan ini juga kesalahan gue. Udah berhari-hari pula sepatunya ketuker."

"Yeh, lagian lo kenapa bisa ketuker dah? Emangnya ukuran sepatu lo sama kayak Kak Mahesa?"

"Iya. Modelnya juga mirip. Makanya gue pikir itu sepatu gue, Nop." Kintan mendesah. "Tapi, kaki sama badan gue kan, emang gede. Wajar sih, kalau Kak Mahesa bisa jadi nggak nyadar sepatunya ketuker."

Setelah menemui Ernos, mereka lalu kembali ke gedung fakultas untuk melanjutkan kuliah jam satu siang. Kintan akhirnya berani mengirim SMS untuk minta maaf. Dia juga ingin mengambil sepatunya kembali sekaligus mengembalikan sepatu milik Mahesa. Usai mendapat konfirmasi dari lelaki itu, pada keesokan hari saatjeda kuliah dari jam sepuluh hingga jam satu, Kintan memberanikan diri untuk mendatangi gedung Fakultas Kehutanan tanpa Novi. Dia sudah mendapat balasan SMS dari Mahesa atas pertanyaannya mengenai keberadaan lelaki itu sekarang. Mahesa kini sedang berada di Laboratorium Silvikultur.

Usai bertanya beberapa kali dengan mahasiswa yang ada di Fakultas Kehutanan, Kintan akhirnya sampai di depan laboratorium. Dia mencari Mahesa, dan menemukan lelaki itu sedang membereskan botol-botol di meja lab.

Perlahan, Kintan mengumpulkan keberanian untuk masuk. Beberapa orang di dalam lab itu memandanginya, dan Kintan hanya tersenyum begitu bertemu mata dengan orang-orang di lab. Setelah berada tepat di belakang Mahesa, Kintan berdeham, lalu berkata, "Permisi, Kak Mahesa?"

Mahesa berhenti meletakkan botol-entah-apa ke dalam sebuah wadah. Dia menoleh, dan Kintan agak menahan napas melihat lelaki itu. Mata Mahesa menatap penuh selidik, kemudian alis lelaki itu terangkat. "Oh, kau rupanya," ujarnya dengan suara yang agak kasar. Meletakkan dahulu botol tadi, Mahesa baru berbalik untuk menghadapkan tubuh ke Kintan sepenuhnya. "Sepatu kau tertukar dengan sepatuku."

"I-iya, Kak." Kintan mengangkat tangannya, menyodorkan kantung plastik berisi sepatu Mahesa. "Ini sepatu Kakak."

Mahesa menerima kantung plastik itu, melihat isinya sejenak, kemudian meletakkan benda itu di meja lab sebelahnya. Tangannya bersilang. Pinggangnya bersender ke meja. "Macam apalah ceritanya kau bisa salah sepatu?"

"Uh...." Kintan menelan ludah, menundukkan kepala. Menghindari tatapan Mahesa. "Itu, Kak. Saya pas waktu itu buru-buru, trus model sepatu saya dan sepatu Kakak mirip, ukurannya juga nggak beda jauh. Dan karena buru-buru, jadinya nggak sadar kalau sepatunya beda."

"Tapi, sepatu kau itu terlalu kecil untuk kakiku." Mahesa menurunkan tangannya kembali ke sisi tubuh. Dia lalu pergi sejenak untuk membuka ranselnya. Dia mengambil sebuah kantung plastik dari sana, baru kembali ke depan Kintan dan menyodorkan kantung plastik itu. "Untunglah aku ada sepatu lain."

"Maaf, Kak." Kintan menerima kantung plastik itu dan menunduk. "Terima kasih."

"Kau anak mana?" tanya Mahesa, kembali menyenderkan pinggangnya di depan meja. Tangannya dimasukkan ke saku celana. Matanya setengah terpicing. "Anak Fahutan?"

Lagi, Kintan menelan ludah. Seandainya gue anak Fahutan, emang gue bakal diapain? "Bukan, Kak. Saya anak Faperta."

"Oh." Mahesa mengangguk. Beranjak dari posisi bersandarnya. "Ya sudah, Kintan. Terima kasih sudah mengantarkan sepatuku."

"Sama-sama, Kak. Maaf udah merepotkan." Kintan mengangguk lagi. Kemudian, dia pun pergi untuk kembali ke gedung fakultasnya. Dalam hati, dia berharap tak perlu berurusan sekali dengan Mahesa Silalahi.

[ ].




-;-;-;-

Komisi Kedisiplinan itu panitia yang kalo OSPEK berlangsung, dia kerjanya mengawasi, memastikan, dan berhak memberi sanksi bagi para peserta OSPEK yang melanggar aturan. Mungkin di kampus lain namanya beda, tapi biasanya kalau OSPEK ada aja sih yang kerjanya macem Komdis gini.

Iya, Mahesa anak Silvikultur. Silvikultur itu bahasa mudahnya "Budi Daya Hutan". Jadi kalo ada hutan rusak, abis kebakaran, dsb, itu kerjaannya silvikultur untuk ditangani. Tapi itu simpelnya aja sih. Pas belajar benerannya mah pasti susah. Kuliah emang gitu.

Btw, di bawah adalah potret Mahesa di tahun 2016.

Btw, di bawah adalah potret Mahesa di tahun 2016

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Substansi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang