10 : Hati :

40.1K 6.8K 292
                                    

10

: h a t i :



Sedari awal, Kintan sudah menduga. Tidak mungkin lelaki semacam Mahesa memiliki kisah percintaan yang menganggur.

Pasti ada perempuan hebat selain ibu Mahesa yang mendukung lelaki itu. Dan, pastinya juga Mahesa lebih memerhatikan perempuan-perempuan yang sudah dia kenal baik dibanding Kintan. Lagi pula, siapalah Kintan? Hanya adik tingkat yang beberapa kali ditemui Mahesa. Tak ada andilnya diri Kintan pada pemberdayaan orang lain, tak ada andilnya dia dalam mengharumkan nama fakultas, kampus, apalagi orang tua. Mahesa pasti memilih perempuan yang juga setara dengannya, yang merupakan wanita baik, sama-sama mau berkontribusi untuk dunia, punya mimpi tinggi, dan pastinya, mau lelah untuk berjuang seperti Mahesa.

Seseorang yang jelas, bukan Kintan sekali.

Dan, suatu ketika, dugaannya pun menjadi kenyataan. Pada ajang pembukaan pertandingan olahraga antarfakultas, Kintan akhirnya tahu kepada siapa Mahesa melabuhkan hatinya.

Pukul 23.10, Kintan baru selesai evaluasi bersama anak-anak sefakultasnya di dekat gym. Pembukaan pertandingan sudah selesai dari setengah jam lalu. Kintan juga sudah puas teriak-teriak dan menyanyikan lagu-lagu supporter fakultasnya. Dia hendak pulang bersama Novi ketika matanya menangkap sosok yang mendominasi pikirannya di salah satu sudut. Dia sedang berorasi di depan anak-anak Fakultas Kehutanan; Mahesa Silalahi.

Setelah beberapa kalimat pentutup, kerumunan Fahutan pun bubar. Kintan masih terpaku, ingin melihat Mahesa lebih lama. Mereka berbeda fakultas dan angkatan, hingga jelas sulit bagi Kintan untuk bertemu Mahesa secara tak sengaja. Sekarang saja, sudah lewat sebulan dari terakhir Kintan melihat Mahesa di koridor fakultas.

Novi masih mencari motornya. Dia ingin membawa beberapa barang-barang dan akan merepotkan jika barang-barang itu dibawa sampai lapangan parkir. Sehingga, Kintan diminta menunggu di gymnasium sementara Novi mengambil motor.

Kintan pun duduk di salah satu pinggiran taman, memandangi Mahesa dari jauh. Cukup seperti ini, rasanya menyenangkan. Kintan menikmati debar yang menghangatkan hatinya. Meski Kintan tak bisa meraih Mahesa, semoga kondisi seperti ini saja cukup.

Mahasiswa yang ikut jadi supporter Fahutan saat pembukaan tadi sudah berpulangan, tetapi Mahesa masih tetap di tempatnya sambil berbicara dengan beberapa kawannya. Kintan menangkap sosok Ernos yang dulu pernah dia temui. Ernos yang juga bersama Mahesa saat Kintan bertemu mereka di musala. Senyum Kintan otomatis mengembang. Matanya melembut mengingat pertemuan pertamanya dengan Mahesa dulu.

Usai berbicara, Mahesa beralih pada seorang gadis yang mendatanginya. Para lelaki yang tadinya berbicara dengan Mahesa sikut-sikutan dan memberi cengiran kepada Mahesa, yang tak dibalas apa-apa oleh sang lelaki.

Si gadis yang mendatangi mereka berbicara, membuat Mahesa dan beberapa temannya yang lain mendengarkan. Tak lama, beberapa lelaki itu menunjuk Mahesa, dan sorak sorai mulai membuat kerumunan kecil itu terlihat berisik sendiri.

Dan, hanya butuh beberapa detik bagi Kintan untuk menyadari.

Kenapa dia tidak awas akan gestur Mahesa saat si gadis datang? Betapa Mahesa seolah berusaha menundukkan pandangan, bahasa tubuhnya yang canggung. Matanya yang sesekali melirik si gadis hanya untuk mengalihkan pandangan kembali, betapa Mahesa berusaha mengontrol wajahnya agar tetap tenang walau kawan-kawannya sudah menyorakinya bersama gadis tadi.

Cukup begitu saja, Kintan bisa merasa jantungnya seperti digelontorkan ke tanah.

Kemudian, Kintan ingin tertawa. Betapa naif dirinya. Siklusnya akan selalu berulang. Ketika dia menyukai seorang lelaki, lelaki itu pasti tak bisa membalas perasaannya dan justru jatuh cinta dengan gadis lain. Kenapa Kintan melupakan hal itu? Mahesa Silalahi layak mendapatkan sebaik-baik perempuan, yang jelas tak seperti Kintan. Siapalah Kintan dibanding Mahesa? Layakkah dia bersanding dengan lelaki seperti Mahesa? Kintan pun mendengus, merasa rongga dadanya mengerat. Jawabannya jelas tidak.

Kintan menggigit bibir. Dia segera mengalihkan pandangan begitu melihat Mahesa berjalan bersama si gadis ke parkiran. Gaya Mahesa terlihat lebih kaku. Kintan tahu kenapa. Lelaki itu pasti merasa malu, dan dia jadi kikuk di depan si gadis tadi. Dan saat Kintan melihat wajah si gadis, astaga, Kintan menahan napasnya. Betapa cantik wajah sang gadis di sisi Mahesa. Ditambah lagi, gadis itu anak Fahutan juga, terlihat dari baju berlogo sama seperti yang dikenakan Mahesa. Sehingga jelaslah gadis jelita itu lebih mengenal Mahesa dibanding dirinya. Lagi pula, bagaimana mungkin Mahesa tak tertarik dengan gadis secantik gadis yang kini berjalan di sebelahnya? Kintan pun yakin jika dia laki-laki, dia akan tertarik dengan gadis di sebelah Mahesa itu.

Namun kini, saat melihat Mahesa berjalan bersisian dengan gadis itu, Kintan tak kuasa merasa miris.

Kenapa siklusnya terulang lagi?

Dan lagi, kenapa harus terulang? Hanya dengan orang yang berbeda, Kintan bisa merasa siklus itu terulang berkali-kali. Kapan selesai? Dan untuk apa siklusnya terulang jika pada akhirnya, dia hanya merasakan sakit?

Kintan menggigit lidah, merasa sesak melihat Mahesa. Dia segera mengalihkan pandangan karena matanya terasa panas. Dia tak ingin melihat apa yang ada di depannya. Dan tak lama, Novi datang dengan motornya, seolah tak secara langsung menyelamatkan Kintan. Kintan pun dibonceng Novi kembali ke indekosnya. Meninggalkan Mahesa, meninggalkan sumber dari kesedihan yang didera Kintan sekarang.

Sesampainya di kamar, Kintan duduk dan merenungi kejadian tadi.

Kenapa siklusnya lagi-lagi terulang, Tuhan?

Kintan sadar siapa dirinya. Apalah dia ini? Dengan tubuh bongsor, rambut keriting, serta kulit gelap, bagaimana mungkin lelaki seperti Mahesa mau melirik gadis seperti dirinya? Kintan merasa dirinya hanyalah itik buruk rupa dibanding perempuan-perempuan yang menyukai Mahesa. Dan itik buruk rupa seperti dirinya tidak akan berubah menjadi angsa seperti di drama picisan ataupun novel romantis. Dia tidak bisa di-make over dan berubah jadi cantik seketika. Dan, yang lebih membuat Kintan tertohok adalah karena dia sadar bahwa itik buruk rupa sepertinya juga bodoh. Nilai-nilainya sampah dibanding yang lain. Dia bukanlah anak yang bisa membanggakan orangtuanya dengan prestasi yang dia raih. Dia tidak seperti Mahesa yang datang merantau dan benar-benar memanfaatkan waktu yang dia punya untuk mencari ilmu dan pengalaman. Terlebih, Mahesa tidak mencari ilmu hanya untuk dirinya sendiri. Dia ingin mencari ilmu untuk memberdayakan orang-orang di sekitarnya, untuk mengembangkan diri dan bantu mengembangkan potensi teman-temannya juga. Sementara Kintan? Dia hanya setitik debu dibanding Mahesa, sungguh. Kintan rasanya mau menangis. Kenapa selama ini dia menyia-nyiakan waktunya?

Dan sepanjang malam itu, Kintan menangis sejadi-jadinya. Menangisi dirinya, menangisi penyesalannya, dan menangisi siklus yang lagi-lagi terulang. Walaupun dari siklus itu, Kintan sudah menemukan alasan untuk jadi orang lebih baik.

Namun, ternyata sekadar memantaskan diri untuk Mahesa saja masih belum cukup.

[ ].



-;-;-;-

sans, girls. jan langsung main tarik kesimpulan sebelum baca cerita ini sampai tamat.

Substansi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang