3 : Mimpi :

63.1K 8.7K 127
                                    

3

: m i m p i :



Kintan sama seperti para remaja lain. Dia juga memiliki mimpi yang ingin diwujudkannya.

Semenjak awal remaja, Kintan ingin orang-orang terasa terbantu karena jasanya. Dia sempat berpikir untuk jadi dokter, tetapi dia merasa otaknya tidak mampu untuk lulus ujian kedokteran di PTN. Dia memang memiliki mimpi besar. Namun, Kintan sadar usaha dan tekadnya masih belum cukup untuk menggapai mimpi itu. Dan terlebih, Kintan sadar para kompetitornya memiliki usaha dan kecerdasan yang jauh lebih tinggi dari dirinya. Jadi, Kintan hanya sadar diri, realistis, dan memilih untuk mundur. Lagi pula, keinginan utamanya itu adalah untuk membantu orang lain. Jalan untuk membantu orang lain tidak selalu harus dengan menjadi dokter, bukan?

Kintan akhirnya memilih jalan lain. Di pemilihan jurusan kuliah saat Kintan SMA, dia memilih jurusan yang lebih berkemungkinan besar untuk membuatnya masuk ke PTN; jurusan yang jarang diminati. Dia ingin oportunis saja. Lagi pula, jarang diminati bukan berarti buruk, kan? Kintan juga sadar dirinya masih SMA dan tak banyak tahu apa-apa tentang kuliah yang sebenarnya. Barangkali, dia dan banyak siswa sekolah lainnya memang banyak yang malas mencari tahu lebih lanjut mengenai nama-nama jurusan yang tidak umum didengar. Siswa cenderung memilih jurusan yang sudah populer, sudah mereka kenal agar prospeknya jelas. Kintan memilih sebaliknya.

Kintan melihat teman-temannya rata-rata memilih jurusan yang sudah umum didengar. Wajar saja. Namun, Kintan sendiri justru ingin tahu apa yang dikerjakan oleh jurusan-jurusan yang kurang populer di mata para siswa Indonesia. Karena itulah dia memilih pertanian.

Kuliah di salah satu jurusan tertua di kampusnya memberi warna tersendiri. Membantu manusia memang tidak selalu harus dengan cara turun langsung, tidak selalu berupa fisik, tidak selalu berupa uang.

Kadang, Kintan suka berpikir, bagaimana cara membantu rakyat Indonesia secara keseluruhan? Kemudian, Kintan pun terkekeh. Jika dia menyuarakan pemikiran seperti ini, teman-teman SMA-nya pasti akan mencemooh, berkata Kintan sok nasionalis padahal mengurus diri sendiri saja belum becus, berkata Kintan sok patriotis padahal nilai IPK saja masih sangat standar. Dan, mungkin salah satunya karena hal itu, Kintan akhirnya mulai melupakan mimpinya untuk membantu Indonesia. Mimpi yang baginya terlalu besar dan terlalu sulit digapai. Bagaimana caranya dia membesarkan Indonesia jika otaknya masih pas-pasan begini?

Dan, karena Kintan sadar betapa dia masih anak ingusan dibanding teman-teman kampusnya, entah mengapa di saat dia kuliah, dia sudah tidak merasa ingin mewujudkan mimpinya itu.

Hingga akhirnya dia bertemu lagi dengan Mahesa.

[ ].


Substansi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang