9 : Layak :

40.6K 6.7K 148
                                    

9

: l a y a k :



"Kintan Malika Soerjo?"

Panggilan itu terdengar dari dosen yang berdiri di depan kelas. Kintan tersentak. Benarkah tadi namanya yang dipanggil? Dia mengerjap-ngerjap, masih tak percaya namanya disebut.

Setelah dosen memanggil namanya sekali lagi, barulah Kintan berdiri dari duduknya dan menghampiri bapak dosen di depan. Dosen itu tersenyum puas dan memberikan secarik kertas kuis kepadanya. "Selamat, Kintan. Dipertahankan ya, prestasinya."

Kintan menelan ludah. Rona bahagia memenuhi wajahnya. "Iya, Pak. Terima kasih," ujar Kintan seraya menunduk singkat dan tersenyum lebar.

Sebagian besar mahasiswa sekelasnya memerhatikan Kintan. Orang yang menjadi pemegang skor tertinggi dalam kuis kali ini sungguh tak mereka sangka. Pasalnya, kuis kali ini sangat sulit. Kebanyakan dari mereka pun mendapat skor di bawah 60. Jelas kagum mereka terhadap orang yang justru mendapat skor 100 di kuis yang sulit ini.

Kintan kembali duduk di tempatnya semula dengan wajah berseri-seri. Mungkin orang lain heran, namun dia merasa lebih heran dibanding teman-temannya. Bagaimana bisa tiba-tiba dia, si anak yang semula pasif dan biasa-biasa saja di kelas, mendadak dapat skor tertinggi dalam kuis yang sulit? Barangkali faktor keberuntungan. Tetapi, Kintan sendiri merasa tidak kesulitan saat mengerjakan kuisnya minggu lalu. Mungkin juga karena efek me-review materi sebelum kuliah, jadi materinya lebih mudah menempel karena Kintan sering mengulangnya.

Novi yang duduk di sebelah Kintan pun menepuk bahu Kintan, ikut terlihat senang. "Cepek punya. Mantaplah, Kin!" bisiknya setengah berseru.

Kintan ikut tersenyum. Lagi-lagi, Mahesa benar. Yang terpenting dimulai dari niat dan usaha untuk jadi lebih baik. Hanya masalah manajemen waktu, manajemen mood, serta memerangi kemalasan agar segala urusan Kintan jadi terorganisir. Dia jadi lebih produktif sekarang. Di waktu luang dia akan menyempatkan diri untuk cari jurnal untuk tugas-tugasnya, atau membaca ulang catatan dari kuliah untuk review materi. Di UKM fotografinya pun, Kintan jadi lebih aktif untuk ikut hunting foto atau turut membantu event. Padahal biasanya, Kintan malas melakukannya. Untung saja anak-anak di sana tetap welcome walau Kintan dulu jarang datang saat kumpul. Berteman dengan lebih banyak orang ternyata menyenangkan. Mungkin berat di awalnya, tetapi Kintan senang dengan kehidupannya sekarang.

Dan, itu semua dipicu oleh Mahesa.

Baru mengingat lelaki itu, dada Kintan terasa menghangat.

Lucu betapa besar efek yang bisa dilakukan seseorang cukup dengan berbicara. Apa yang Mahesa lakukan memang hanya berbicara, menyampaikan pendapat dan mimpinya. Tetapi, imbas yang diterima Kintan terasa besar. Hingga sekarang Kintan merasa lebih hidup dibanding kemarin-kemarin.

Kintan memang jarang sekali bertemu muka ataupun berbicara dengan Mahesa. Sudah dua bulan dari terakhir dia bertemu lelaki itu. Barangkali, Mahesa sudah lupa akan dirinya. Tetapi, Kintan tak akan lupa terhadap jasa yang secara tak langsung Mahesa lakukan kepadanya. Dalam hati, dia bersyukur telah dipertemukan dengan Mahesa.

Ketika kuliah usai, Kintan hendak pergi ke masjid kampus untuk bertemu kakak tingkatnya. Perjalanan dia tempuh dengan berjalan kaki. Di tengah jalan, dia memelankan langkah begitu melihat sebuah mading. Milik Fakultas Kehutanan.

Dan, melihat foto lelaki yang tadi dipikirkannya pun, pandangan Kintan seketika melembut.

Kintan melihat sosok Mahesa dalam salah satu poster di sana, terlihat sebagai salah satu kandidat untuk Ketua BEM Fahutan tahun ini. Senyum Mahesa tidak lebar dalam foto itu. Hanya senyum sederhana tapi tetap sampai mata. Kintan spontan ikut tersenyum. Dia pun memejamkan mata dan berdoa dalam hati agar segala urusan Mahesa dilancarkan, agar apa pun hasilnya nanti tak akan membuat Mahesa patah semangat untuk terus memberdayakan dan membantu orang-orang di sekitarnya.

Sambil tersenyum, Kintan pun kembali berjalan dengan hati riang. Dia masih merasa perasaannya ini rasa kagum semata. Karena jika ingin disebut suka, rasanya tanggung. Dan ingin dikata kagum pun, rasanya juga terlalu aneh. Kintan mengagumi Mahesa, jelas. Melihat lelaki itu baik-baik saja rasanya cukup. Melihat Mahesa senang, dia juga ikut senang. Melihat Mahesa kecewa, dia ikut kecewa. Dan melihat Mahesa bersemangat, dia turut merasa demikian. Akan tetapi, dia tak terlalu kenal dengan Mahesa. Rasanya terlalu gegabah untuk menyebut bahwa perasaannya terhadap Mahesa itu adalah rasa suka.

Akan tetapi, tiap dia melihat Mahesa, Kintan tak mengerti kenapa bisa merasakan hangat menelusup kala melihat sang lelaki. Seperti yang dialaminya kini.

Dia melihat Mahesa berjalan di koridor fakultas. Pandangan lelaki itu lurus ke depan. Tak tergubris dengan orang-orang sekitarnya. Sementara Kintan sendiri berjalan di aspal sebelah koridor dengan jarak yang agak jauh. Namun, tetap saja dia bisa membedakan yang mana Mahesa dan mana yang bukan.

Sebenarnya dari Shinta, kakak tingkatnya yang sekelas dengan Mahesa sekaligus satu indekos dengan Kintan, Kintan tahu bahwa kemarin, Mahesa menjalani latihan untuk pertandingan antarfakultas di kampusnya sampai tengah malam. Hal itu lumrah dijalani oleh para atlet yang sudah terpilih untuk bertanding. Tetapi, meski latihan tiap hari sampai malam demi fakultas pun, tetap saja beban tugas mereka sebagai mahasiswa tidak akan dikurangi. Kintan bahkan yakin hari ini Mahesa tidak tidur. Wajah lelaki itu terlihat lelah sekali walau Kintan melihatnya dari jauh.

Dalam hati, Kintan ingin berkata kepada Mahesa untuk istirahat. Mahesa lelah, Kintan paham itu. Membayangkan kegiatan Mahesa saja sudah bisa membuat Kintan merasa lelah juga. Kintan hanya tak ingin lelaki itu terlalu memaksakan diri. Manusia juga punya batasnya. Kemudian, dia melihat Mahesa duduk di salah satu bangku koridor menyenderkan tubuh, mendengak sambil memejamkan mata, terlihat letih.

Kintan ingin menghampiri, tetapi enggan. Habis, siapalah dia? Kenal dekat dengan Mahesa pun tidak. Dia hanya pernah berbicara tiga kali dengan Mahesa seumur hidupnya. Tak pantaslah dia berusaha menenangkan Mahesa yang terlihat lelah itu. Tak pantaslah dia jadi sandaran bagi Mahesa. Sebab, sekali lagi, siapalah Kintan?

Iya. Dia hanya sebuah titik dalam satu buku kehidupan Mahesa Silalahi.

Akhirnya, Kintan kembali berjalan setelah melihat ada Ernos—teman sejurusan Mahesa yang dulu pernah ditemuinya—datang dan melihat Mahesa. Ernos membangunkan Mahesa dan menghelanya untuk tidur di sekret. Mahesa mengikuti.

Kintan menggigit bibir. Merasa agak miris. Dia tahu ke mana arah perasaannya ini. Seremeh apa pun perasaannya terhadap Mahesa, mau itu kagum ataupun suka, pada akhirnya, semua akan berakhir sama seperti kisah cintanya yang terdahulu.

Sebab jika nanti dia tahu bahwa Mahesa mencintai perempuan lain, rasanya pasti akan tetap sesak.

Dan untuk sekarang, Kintan tak ingin mendamba yang lebih. Cukup dengan mengetahui bahwa Mahesa akan baik-baik saja, cukup dengan mendapati bahwa Mahesa masih berjuang demi jadi bermanfaat, cukup dengan tahu Mahesa masih konsisten di jalan yang dia pilih, Kintan rasa, itu sudah cukup.

Walau Kintan tak akan bisa meraih lelaki itu barang satu jengkal.

[ ].

Substansi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang