15 : Bahagia : [END + GA NTdTK]

95.1K 6.9K 1K
                                    

gils ini panjang bet. semoga qalean tidak maboq.

-;-;-;-


15

: b a h a g i a :


2009


"Nilai UTS si Bejo bagus banget, anjir! Kesel gue! Padahal gue udah belajar mati-matian tahu, Kin!"

Seruan Novi membuat Kintan terperanjat dari bukunya. Kintan menatap sekeliling. Kelas memang sudah sepi karena kuliah sudah selesai dari sepuluh menit yang lalu. Para mahasiswa yang sekelas Kintan sudah banyak yang pergi untuk cari makan siang.

Sudah lewat satu setengah tahun dari hari Kintan menyadari kekeliruannya dalam menanggapi the heartbreak cycle. Sudah tak ada lagi perasaan 'khusus' di hati Kintan kepada Mahesa kecuali kagum dan respek. Hari ini pun, Mahesa resmi menyandang gelar Sarjana Kehutanan di gedung wisuda. Sekarang sudah jam sepuluh. Kintan ingin bertemu Mahesa di gedung wisuda, barangkali untuk kali terakhir.

Kintan menutup bukunya sebentar. Sebenarnya, itu buku mengenai multiple intelligences karangan Howard Gardner. Kintan mulai tertarik untuk mencari tahu perihal tipe-tipe kecerdasan semenjak Novi sempat menyinggungnya. Beruntung, ternyata perpustakaan kampusnya memiliki buku itu untuk dipinjamkan.

Berdeham, Kintan menyahut ucapan Novi, "Ya udah, Nop. Mungkin, lo kurang beruntung."

"Ih, sakit hati gue...." Novi melihat lagi nilai di kertas lembar jawaban ujiannya, kemudian melipat kertas itu jadi dua. Hari ini, lembar jawaban salah satu mata kuliah dibagikan kepada mahasiswa untuk diperiksa ulang apakah ada kesalahan. Novi mendesah. "Si Bejo padahal nggak belajar apa-apa. Tapi, dia malah dapet nilai lebih bagus."

Kintan menarik napas. "Nop, dia nyontek."

"Justru itu!" seru Novi. "Justru karena dia nyontek, gue sakit hati. Kalau nilai dia bagus dan dia emang belajar rajin, sih, gue nggak akan begini."

Lagi, Kintan menghela napas. Nilainya sendiri juga tak sebagus nilai Bejo, teman sekelasnya yang mendapat nilai tertinggi. Tetapi, mungkin karena sudah dinasihati Novi, Kintan kini merasa biasa saja jika mendapat nilai jelek. Jika merasa kecewa, iya. Namun, dia tidak lagi frustrasi dan menyalah-nyalahkan diri sendiri seperti dulu. "Belajar dari kesalahan aja sih, Nop. Biar ke depannya lo lebih paham materi. Lo salah di mana emang?"

"Ini, Kin...." Novi memberikan kertas hasil ujiannya. Kintan melihatnya sebentar, lalu paham dan mengembalikannya kepada Novi. Novi masih terlihat jengkel. "Lo nggak kesel, ya, Kin? Padahal, lo belajar mati-matian juga, kan? Tapi, lihat dah, nilai yang nyontek malah lebih bagus daripada lo."

"Emang biasanya gitu, kan?" Kintan justru tertawa. "Kalau dulu gue ngalamin nasib itu, gue bakal kesel, sih. Tapi, gue sadar. Mengeluh bahwa dunia nggak adil karena nilai orang yang nyontek lebih bagus daripada kita itu nggak ada gunanya." Kintan beranjak, lalu berjalan kaki menuju gedung wisuda bersama Novi. Dia sudah memberi tahu rencananya hari ini untuk menemui Mahesa, dan Novi setuju untuk menemani temannya itu.

"Cuma, capek aja, Kin," ujar Novi di tengah jalan. "Iya, sih, ngeluh emang nggak akan menyelesaikan masalah. Tapi, gondok aja kalau yang nyontek ternyata nilainya lebih bagus dari kita. Usaha nggak pernah mengkhianati hasil itu bullshit parah."

"Hmm.... itu tergantung dari sisi mana lo mau ngelihatnya aja, menurut gue." Kintan menunda lanjutan ucapannya untuk menyeberang jalan sejenak.

"Sisi gimana maksud lo?" tanya Novi segera setelah mereka menyeberang.

Substansi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang