12 : Rupa :

35.6K 6.3K 225
                                    

12

: r u p a :



Dari kakak tingkatnya yang sekelas dengan Mahesa, Kintan jadi tahu bahwa gadis yang dulu dia curigai sebagai gadis yang ditaksir Mahesa, pada akhirnya benar-benar menjadi kekasih lelaki itu.

Kintan menarik napas. Dadanya masih terasa sesak ketika tadi pagi melihat Mahesa memboncengi pacarnya naik motor. Kintan sudah tahu bahwa akhirnya akan jadi seperti ini. Keinginan memang seringkali tak berbanding lurus dengan realita. Namun, meski demikian, kenapa rasanya masih saja sakit?

Ditambah lagi, sudah dua hari dia tak bicara dengan Novi. Kintan paham, mungkin Novi sendiri juga butuh waktu sebelum berbicara lagi dengan dirinya. Lagi pula, apa yang Novi katakan memang benar. Rendah diri itu racun. Awalnya Kintan pikir yang akan merasa desperate cukup dirinya saja. Tak dia sangka bahwa ungkapan rendah dirinya justru ikut menyakiti orang lain secara tidak langsung.

Padahal, Kintan sama sekali tak ada niat untuk menghina orang lain. Dia hanya merasa sedang berada di titik rendah karena siklus patah hatinya terulang lagi.

Kintan menggeleng, menghela napas lagi. Dia tengah duduk di salah satu bangku yang berjejer di node GFM—Geofisika dan Meteorologi—ketika matanya bertemu dengan seseorang.

Kintan berhenti bernapas. Matanya melebar melihat siapa yang duduk di sebelahnya. Tidak, sosok itu bukan Mahesa. Sosok itu justru gadis yang sudah resmi jadi kekasih lelaki tersebut.

Lagi, Kintan tak paham kenapa dadanya terasa sesak meski dia sudah menduga ini semua akan terjadi.

Sesekali, mata Kintan menelusuri sosok gadis di sebelahnya. Dia dapat menangkap nama "Irene" di kemeja lapang gadis itu.

Irene merapikan rambut lurusnya, membuat kucir kuda. Kintan mengamati tubuh mungil nan ramping Irene yang putih mulus dengan bibir kemerahan. Dilihat dari dekat, paras Irene justru lebih cantik daripada yang Kintan lihat saat dulu di gymnasium. Kintan menggigit bibir. Astaga. Jelaslah Mahesa menyukai gadis ini. Mana mungkin ada lelaki yang bisa berpaling saat melihat gadis secantik Irene?

Seketika, Kintan merasa kerdil sekali kendati ukuran tubuhnya begitu kontras dengan Irene yang mungil. Dengan tubuh bongsor, kulit hitam, serta rambut keriting nyaris kribo, Kintan merasa bagaikan itik buruk rupa yang duduk dengan putri negeri dongeng seperti Irene.

Spontan, Kintan duduk beringsut ke belakang, setengah berharap dirinya menghilang saja. Dari tadi, semua lelaki yang berjalan melewatinya saja menoleh setidaknya dua kali untuk melihat Irene.

Kintan mendesah. Tak ada lagi yang dia inginkan sekarang kecuali menjauh. Baik itu dari Irene maupun dari Mahesa. Tetapi, keinginannya tertahan saat dirinya ditepuk lembut oleh gadis di sampingnya.

Kintan menoleh, menatap Irene yang menepuknya tadi. Lembut, Irene bertanya, "Maaf, kamu tahu ruangan Pak Sudjana dosen Agronomi di mana?"

Kintan terdiam. Menimang sejenak. "Iya, saya tahu." Sesaat kemudian, karena berpikir tak ada salahnya, dia menawarkan, "Mau saya anterin ke ruangannya?"

"Eh, nggak apa-apa?" tanya Irene. "Nggak ngerepotin?"

"Enggak, kok," balas Kintan seraya tersenyum tipis. Mungkin, dia memang merasa sakit hati atas perempuan ini. Tetapi, Irene tak salah apa-apa, bukan? Irene hanya menjadi kekasih Mahesa karena mereka memiliki perasaan yang sama. Itu hal yang wajar. Lagi pula, siapa yang tak ingin mencintai dan dicintai oleh orang yang sama?

"Oke. Makasih, ya," Irene tersenyum dan menunduk. "Nama kamu siapa?" tanyanya seraya berjalan bersama Kintan menuju tangga.

Kintan menyebutkan nama, kemudian lanjut saling tanya jurusan, angkatan, dan asal daerah masing-masing. Irene berasal dari jurusan yang sama dengan Mahesa, tetapi seangkatan dengan Kintan. Sepanjang obrolan menuju ruangan dosen, tak sekalipun ada topik tentang Mahesa muncul. Dan sepanjang obrolan itu pun, beberapa pertanyaan tak kuasa menyelip di otak Kintan.

Bagaimana cara Mahesa melihat gadis ini? Untuk kesan pertama, Kintan merasa Irene jauh dari kata buruk. Irene sopan dan tak menatap Kintan seolah Kintan adalah gadis raksasa buruk rupa. Irene tak seperti yang beberapa gadis yang memandang Kintan sebelah mata karena fisiknya.

Kintan juga bertanya-tanya, apa yang Mahesa pikirkan saat melihat gadis ini? Kagum bercampur cintakah? Bagaimana Mahesa menggambarkan Irene dalam satu kata? Apa yang akan Mahesa lakukan saat melihat Irene yang begitu cantik? Merasa beruntungkah Mahesa karena memiliki kekasih secantik Irene?

Tanpa terasa, mereka akhirnya sampai di lantai empat tempat ruangan dosen yang dicari berada.

Irene menarik napas. Dia terlihat berusaha tenang sebelum masuk. Namun, begitu pintu hendak dibuka Irene, dari dalam ruangan justru sudah ada yang lebih dulu membuka pintu.

Napas Kintan ditarik paksa keluar dari paru-paru.

Kintan hanya tak menyangka bahwa yang ada di dalam ruangan itu adalah Mahesa.

Mahesa agak kaget menatap Irene, kemudian tatapan itu berubah menjadi binar bahagia seketika. Lelaki itu pun keluar, menutup pintu di belakangnya. Menatap Irene dan tak menahan senyumnya. "Mau ketemu Pak Sudjono juga, Ren?"

Irene mengangguk, ikut tersenyum dan merona. "Iya. Kamu mau langsung balik ke Fahutan?"

"Iya. Mau balik bareng aja?"

"Nggak apa-apa nungguin? Kamu nggak ada kuliah emangnya?"

"Enggak. Kamu kira-kira lama nggak, ketemu Pak Sudjono?"

"Enggak sih." Irene tersenyum lagi. "Ya udah. Mau sekalian makan bareng, nggak?"

"Ayo." Mahesa mengangguk. "Aku ke musala dekat sini dulu. Nanti kalau udah keluar, SMS aja."

"Oke," ujar Irene sambil mengangkat ibu jarinya. Gadis itu pun masuk ke dalam ruangan dosen, sementara Mahesa pergi ke lantai bawah, tak awas akan keberadaan Kintan yang memang berada agak jauh dari situ. Seolah Kintan hanyalah latar belakang yang tak akan menarik perhatian siapa pun.

Kintan terdiam. Membeku, namun tidak dengan hatinya. Seisi dadanya terasa bergejolak hingga membuat bibirnya kelu dan matanya terasa panas. Dia melihat seluruh interaksi Mahesa dan Irene selama tadi, seolah ingin menyiksa diri sendiri. Dan akhirnya, setelah melihat punggung Mahesa menghilang saat melewati belokan, Kintan segera pergi dari sana.

Dia hanya ingin menyendiri untuk menangis.

[ ].

Substansi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang