4
: p e n g a r u h :
Tuhan tidak mengabulkan doanya.
Sebab ternyata, Kintan bertemu lagi dengan Mahesa. Beberapa kali, bahkan. Dan hanya butuh waktu satu bulan bagi Kintan untuk benar-benar tahu siapa Mahesa Silalahi di kebanyakan mata mahasiswa.
Mahesa cerdas, seperti yang sudah Kintan duga. Berotak cemerlang, punya pengaruh, dan populer. Sebagian teman perempuan seangkatan Kintan bahkan selalu ramai ketika membicarakan lelaki itu. "Bang Mahesa mah lakik banget, Kin!" begitu kurang lebih pendapat mereka. "Apalagi pas dulu jadi Jendral Komdis. Gayanya tuh galak-galak kayak: 'Kau mau dihukum, Dek?' Tapi, aslinya orangnya baik! Ah, gemes gue!" lanjut si perempuan yang ditanya.
Dan saat itu, Kintan sendiri tak bisa berkomentar. Dia bahkan tidak tahu siapa Mahesa sebelum insiden sepatu yang tertukar.
Dari teman-temannya pun, Kintan tahu bahwa Mahesa menjabat sebagai Kepala Badan Pengurus Harian di Himpro—Himpunan Profesi, atau juga disebut Himpunan Mahasiswa—jurusan lelaki itu. Mahesa aktif baik secara akademik maupun organisasi. Salah seorang kakak kelas SMA yang dikenal Kintan, namanya Shinta, yang juga sekelas dengan Mahesa pun pernah berkata, "Mahesa emang pintar, gue bahkan hampir nggak pernah lihat dia tidur di kelas. Padahal anaknya sibuk gitu. Tapi, dia pasti selalu perhatiin dosen."
Kintan tahu orang-orang semacam Mahesa. Merekalah orang-orang di piramida puncak yang bersinar dengan segala prestasi yang mereka dapat. Orang-orang semacam ini umum ditemukan di dunia kuliah dan kerja. Akan tetapi, pendapat-pendapat itu tidak terlalu membuka mata Kintan akan Mahesa. Baginya, Mahesa hanyalah lelaki cerdas yang populer, aktif, dan masa depannya terjamin. Itu saja.
Sampai suatu ketika pendapatnya tentang Mahesa sedikit berubah saat Kintan mendengar langsung public speaking lelaki itu.
Saat itu, Kintan datang ke sebuah acara kampus. Pada sebuah sesi, ternyata Mahesa-lah yang diundang sebagai pembicara di acara tersebut. Sudah enam bulan berlalu dari hari Kintan bertemu Mahesa. Kintan sudah semester empat saat ini. Di acara itu, Kintan datang bersama Novi.
"Kalian salah kalau berpikir saya itu orang yang mudah menangkap pelajaran," ujar Mahesa saat dia sedang memaparkan motivasi untuk para audiens. Kintan mengangkat kepala dari catatannya. Ini kali pertama dia mendengar Mahesa tak berbicara dengan logatnya yang biasa. "Saya sulit paham pelajaran. Satu kali diajari dosen pun belum tentu saya seketika paham. Saya bukan anak yang berotak cemerlang. Saya harus berulang-ulang belajarnya. Dan percayalah, rasanya itu berat, kawan. Kalian semua pasti paham bahwa materi kuliah itu lebih banyak dan lebih detail dibanding materi SMA. Pelajaran yang biasa kita pelajari dalam waktu tiga tahun di SMA, harus kita pelajari dalam waktu setengah tahun bahkan kurang. Bagaimana orang macam saya bisa cepat paham materi yang begitu banyak? Belum lagi tugas-tugas kuliah kita memang banyak. Makin berkuranglah waktu kita untuk belajar.
"Sekali lagi, saya bukan orang yang dari lahir diberkahi dengan otak yang mudah nalarnya. IPK saya bahkan di bawah rata-rata saat saya tingkat satu. Lebih parah lagi saat saya semester tiga. Tapi, setelah kenal dengan orang-orang yang menurut saya hebat, saya jadi terpacu untuk jadi seperti mereka. Keinginan saya tidak semuluk 'menyejahterakan'. Saya hanya ingin jadi bermanfaat. Dan karena keinginan sederhana itu, saya mulai menata ulang cara saya belajar, manajemen waktu, manajemen uang, dan lain-lain. Jelas sulit, karena yang namanya komitmen memang tidak pernah mudah. Dan alhamdulillah saya merasa hidup saya lebih baik sekarang. Secara akademik, nilai pun menanjak. Dan secara psikologis, saya merasa lebih bahagia sekarang. Bahagianya karena bersyukur dan karena bisa membantu orang lain.
"Tapi, perkara apakah orang sudah menganggap saya bermanfaat atau tidak, itu urusan nanti. Yang penting saya berusaha dulu. Saya sadar bahwa dunia ini hanyalah ujian, kawan-kawan sekalian. Kita semua sedang diuji. Saya hanya tidak mau menghabiskan waktu saya untuk sesuatu yang menghambat saya dalam mengerjakan 'ujian' tersebut. Kita semua akan merasakan rasa sakit, perih, dan sulitnya berjuang. Tapi, ingatlah bahwa Tuhan Mahatahu. Dia bahkan lebih tahu rasa sakit kita daripada kita sendiri. Kalau kita ikhlas, insya Allah akan dibalas dengan setimpal. Barangkali dibalasnya bukan di dunia, tetapi di akhirat. Wallahualam."
Ujaran itu lalu disusul dengan beberapa kalimat penutup dan tepuk tangan yang meriah dari para audiens. Kintan sendiri masih termenung hingga Mahesa pergi dari panggung. Gadis itu seolah tersihir. Novi yang berada di sebelahnya pun menyenggol pelan temannya itu sambil bertepuk-tangan. "Bagus ya tadi motivasinya," puji Novi sambil berdecak kagum. Acara sudah berlanjut ke sesi berikutnya. Kemudian, Novi menoleh ke arah Kintan. "Menurut lo gimana, Kin?"
Kintan terdiam. Masih terserap dengan ucapan Mahesa tadi. Dia mengerjap, lalu menoleh ke Novi. "Menurut gue...," dia berkata, "Kak Mahesa orang yang pemberani...."
Novi mengernyit, lalu terkekeh. "Berani kenapa?"
Kintan mengerjap. "Dia berani mengungkapkan kekurangannya di depan orang. Dan bukan buat biar orang kasihan, tapi biar orang-orang nggak merasa sendirian merasakan apa yang dia rasakan. Gue sih... merasanya kayak gitu...."
Novi mengangkat alis, kemudian tersenyum. Begitu acara selesai, mereka pun kembali ke indekos masing-masing.
Namun begitu sampai di indekos, Kintan pun merenung.
Pendapatnya tentang Mahesa salah besar.
Mahesa bukan hanya anak populer yang cerdas dan pandai bersosialisasi seperti orang-orang yang dulu ada di SMA-nya. Mahesa... lebih dari itu. Kintan kaget menemukan orang yang mau mendedikasikan dirinya untuk kepentingan orang banyak, yang bekerja bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang-orang lain. Tak salah Kintan menyebut orang-orang seperti itu berada di piramida puncak. Orang-orang seperti itu bersinar layaknya bintang. Terkadang sinarnya terlalu cerah hingga bisa membutakan. Bahkan juga meradiasi.
Dan, Kintan kemudian sadar bahwa dia juga masuk ke dalam area teradiasinya sinar itu.
[ ].
KAMU SEDANG MEMBACA
Substansi | ✓
Teen Fiction"Ever wonder how it feels to love a man who's more unreachable than the sun?" Substansi © 2017 by Crowdstroia. Image taken from pinterest. [Wattys 2017 winner]