Bab 12

1.4K 250 68
                                    


Oh iya, aku mau Kasih tau dulu.. di bab berapa gitu, aku pernah nulis kalau pekerjaan mamanya hermione itu dokter, sedangkan di bab sebelumnya lagi, aku bilang kalau ayahnya hermione di pecat dan mereka lagi kesulitan finansial.. ya kali kalo mama nya dokter, terus cuma gara2 ayahnya dipecat mereka jadi susah. Itu aku nulis dokter karna aku lagi ngelindur wkwkw.. tapi itu gk lama kok, paling baru lima menit update bab itu, udah aku revisi ulang, sekarang pekerjaan mamanya cuma ibu rumah tangga biasa.. jadi kemungkinan yg baca klo mama hermione dokter itu cuma dikit.. yaudah aku cuma mau bilang itu aja hehe takut tiba2 ada yg gk paham 😁 klo kalian bacanya pas yg udah bagian mamanya itu cuma IRT, yaudah anggap aja cuap2 aku ini hanya angin lalu ya wkwkw

***

Pangeran Keren: Karna yang tulus, nggak akan pernah pergi.

Harry melirik sebentar apa yang dilakukan temannya itu sedari tadi. Ternyata Ia sedang berkirim pesan dengan salah satu sahabatnya.

Dengan malas sekaligus lelah, Harry membanting dirinya ke kasur empuknya. Ia melipat tangannya di bawah kepalanya dan menatap seseorang di sampingnya yang kini hanya duduk diam sambil menatap dinding dengan mata yang menerawang.

"Mau sampe kapan lo kaya gini? Lo emang nggak mau kalo dia tahu, selama ini si pengagum rahasia itu ternyata lo?"

Menoleh sekilas, "Nggak tahu sampai kapan. Gue juga nggak ngerti, kenapa gue bisa jadi pengecut kaya gini."

Harry tertawa. Ia lalu kembali menegakkan tubuhnya, dan bersandar pada sandaran ranjang.

"Kalau lo nggak jujur, gimana dia bisa tahu kalau lo suka sama dia? Eh, ralat. Lo cinta mati sama dia."

Memutar bola mata, "Lo nggak ngerti, Ry. Lo nggak tahu rasanya, jika tahu orang yang lo suka malah suka sama orang lain."

Harry mencebikkan bibirnya, "Kan lo sendiri yang bilang, Seseorang itu perlu untuk merasakan yang namanya patah hati. Karna, itu bisa membuatnya bisa mencintai lebih baik lagi."

Menghembuskan napas, "Iya, tapi tetep aja yang namanya patah hati itu bangsat."

"Bahasa bung, bahasa.."

Terkekeh pelan, "Kalau Hermione tahu, bisa digeplak gue."

"Tuh, lo tahu."

Ia menyandar pada sandaran ranjang, dan menatap langit-langit ruangan sambil memikirkan seseorang yang sedari tadi hilir mudik di kepalanya.

Harry untuk yang kesekian kalinya menghembuskan napasnya, "Draco! Pokoknya lo harus jujur sama Hermione. Gue mau sahabat-sahabat gue itu bahagia."

"Gue bukan kebahagiaan dia, Ry."

Mendengus pelan, "Terserah lo, lah! Puyeng gue mikirin lo. Masalah percintaan lo itu kaya kentut. Nggak ada wujudnya, tapi bisa dirasakan kehadirannya. Cuma Hermione-nya aja yang lagi pilek, makanya dia nggak bisa nyium cinta lo itu."

Draco tertawa terbahak, "Anjir! Perumpamaan lo menjijikan."

"Yee, serius gue." Harry mendelik sebal. Ia menyilangkan kakinya, dan menepuk kaki Draco sekali. "Nih, ya gue kasih tahu. Nggak ada perasaan yang nggak diungkapkan. Kecuali lo terlalu mencintai diri lo sendiri."

"Halah, kata-kata lo ngutip dari film kan? Plagiat najis."

"Ck, kalo bunuh orang nggak dosa, udah gue gantung lu!"

"Hahahaaa.."

"Tawa aja terus sampe sukses."

"Aamiin.."

Friendship (DRAMIONE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang