Bab 33

1K 178 9
                                    


Tak terasa ternyata mereka sudah ada di penghujung hari dimana besok akan diadakan ujian nasional tingkat SMA. Rasanya baru kemarin mereka merasakan MOPD di sekolah itu, dan sekarang sudah mau lulus saja. Itu artinya mereka sudah tiga tahun melewati suka duka di SMA.

Mulai dari dihukum bersama karena ketahuan bolos pelajaran. Tapi itu sih hanya untuk Theo, Harry dan Blaise. Kalau Draco dan Hermione, kan anak rajin. Lalu bagaimana dulu Draco dan yang lainnya tertawa sampai terpingkal-pingkal karena mendengar niat Blaise yang katanya ingin merakit bom untuk meledakkan sekolahnya ini agar dia tidak perlu belajar geografi lagi. Hah, semua itu tidak akan terlupakan. Terlalu banyak kenangan.

Draco, Hermione, Blaise, dan Harry duduk di karpet tempat Theo masih di rawat. Entah sampai kapan dia harus berada di sana. Ingin sekali Theo seperti dulu lagi. Yang bisa pergi kemanapun dia mau. Tidak seperti sekarang yang ke kamar mandi pun susah.

"Cie, yang bentar lagi pada lulus." ujar Theo dengan suara serak.

Mereka semua menoleh ke arah Theo. Blaise tersenyum lebar, lalu menghampiri ranjang Theo.

"Bro, lo juga harus semangat! Lo pasti bisa nyusul kite-kite." kata Blaise menyemangati sambil merangkul pundak Theo.

Hermione dan yang lainnya tersenyum. Mereka pun ikut berdiri dan mengelilingi ranjang Theo.

"Makasih, ya. Kalian masih nerima gue yang kaya gini. Gue kira lo semua bakal jijik."

Harry melempari Theo dengan kulit kacang, "Pikiran lo kaya di sinetron, anjir. Drama banget, gila."

Theo terkekeh.

"Hah! Gue kangen kalian. Kangen ngehajar kalian semua!" pekik Hermione seraya memeluk Theo. Semuanya tertawa.

Mungkin ini terdengar berlebihan, tapi tidak ada yang bisa menggambarkan perasaan Hermione saat ini. Dia bahagia sekaligus sedih dalam satu waktu. Melihat sahabat-sahabatnya saat ini, membuatnya kembali teringat masa-masa kebersamaan mereka. Andai waktu bisa diulang satu minggu saja, dia ingin merasakan kembali bermain dan tertawa bersama mereka semua. Tanpa adanya air mata seperti sekarang.

"Nanti kalian ngerjain ujiannya yang bener. Jangan nyontek lu, Blaise! Hidup lu kagak berkah nanti." ujar Theo yang dihadiahi gerutuan Blaise.

"Bodo amat. Orang gue udah beli kunci jawaban. Kan mubadzir kalo nggak di pake."

Semuanya melotot, "Eh, anjir! Nggak taubat-taubat lu!" seru Harry sambil menjitak kepala Blaise.

"Halah, bilang aja lu pengen 'kan? Nggak usah muna lu." Blaise cemberut. "Pokoknya jangan cepu lu ya pada."

Hermione memutar bola mata, "Biarin, dah. Ntar juga dia nyesel sendiri. Gue doain jawabannya beda sama kunci jawaban yang elu beli!!"

"Yah, rugi dong gue kalo gitu."

"Makanya belajar... Kerja lu jangan nonton sinetron mulu, mbing!" seru Draco.

"Serah gue, lah." Blaise cemberut. Namun tiba-tiba Ia kembali tersenyum lebar ketika mengingat perjanjian mereka dulu, "Eh, gimana sama perjanjian kita dulu?"

Semuanya mengernyit, "Perjanjian yang mana?"

"Itu lho, kalo sampe perpisahan sekolah nanti ada yang belom dapet pacar, harus terima hukuman!" katanya menggebu.

Semuanya memandang Blaise dengan tatapan 'Dia nggak sadar diri apa?!'

"Eh, yang belum ada pacar 'kan elu!" seru Hermione.

Blaise diam.

"Oh iya ya? Gue lupa. Saking banyaknya cewek yang deketin, gue jadi nggak pernah berasa jomblo." katanya dengan tampang tanpa dosa.

Semuanya menatap Blaise lalu serempak memutar bola mata mereka.

"Eh! Tapi Theo juga masih jomblo. Iya kan, yo?" tanya Blaise sambil mengguncang pelan bahu Theo.

Theo diam. Matanya menatap sekeliling dan melihat ke arah Kinan yang sedang duduk sendiri di sofa. Mata perempuan itu pun menatap Theo dengan pipi yang bersemu.

Jantung Kinan entah mengapa jadi berdetak lebih kencang. Apalagi saat Ia melihat tatapan Theo yang tak biasa. Jadi... Bolehkan dia berharap? Berharap Theo akan mengatakan perasaannya pada Kinan.

Namun sebuah kalimat yang terucap mulus dari laki-laki itu membuat Kinan menunduk dengan senyum miris.

"Iya, gue masih jomblo. Abis gue belom move on."

Ternyata, hati Theo tetap untuk Ginny. Apa tidak ada celah sedikit pun untuk Kinan? Hah, mungkin selama ini dia hanya terlalu naif. Karena pada nyatanya, Theo tidak pernah menganggapnya lebih dari sahabat.

...

"Sorry ya, Ry. Gue terpaksa ngomong kaya tadi."

Harry tersenyum paham. Sekarang hanya ada mereka berdua di ruangan Theo. Yang lainnya sudah pulang. Kinan? Mungkin dia di luar dan merenungi perkataan Theo beberapa jam lalu. 

"Gue ngerti kok, yo." katanya sembari menepuk bahu Theo sekali. "Tapi gue mau lo jujur. Sebenernya lo suka nggak sama Kinan? Abis kalo liat tatapan kalian tuh, kaya ada yang beda."

Theo menggeleng, "Gue nggak suka dia."

Harry mengerutkan dahi. Tak percaya dengan apa yang dia dengar.

"Tapi gue cinta dia."

Harry terkekeh, "Lo emang selalu gini ya? Nyembunyiin fakta. Hampir aja gue salah paham."

"Kalau bohong buat kebaikan seseorang itu dosa nggak?" tanya Theo.

"Mana gue tau. Yang namanya dosa itu ya urusan si manusia sama yang di atas."

Theo mendesah, "Gue bohong sama Kinan. Gue nggak mau dia tau tentang perasaan gue."

"Kenapa? Jangan bilang karna penyakit lo ini?"

Theo mengangguk, "Apalagi kalau bukan karna itu?"

Harry menghembuskan napas, lelah. "Yo, lo jangan kaya gini, dong. Jangan bersikap seakan-akan lo bakal mati besok!"

"Kematian nggak ada yang tau, Ry. Mungkin hari ini? Atau bahkan satu jam lagi?"

"Apaan, sih lu! Jangan ngomong yang serem-serem napa!"

Theo tertawa. 

"Yo, kalo lo emang beneran cinta dan sayang sama Kinan, ya lo bilang. Lo nggak tau kan betapa hancurnya dia pas denger lo belom move on?"

Theo tertunduk tiba-tiba, "Lebih baik kaya gitu, Ry. Gue.. Gue cuma nggak mau kalo gue nggak ada nanti, dunia Kinan bakal gelap."

"Gue nggak mau kalo kita pacaran, terus gue meninggal dan akhirnya dia terikat sama gue. Gue nggak mau dia terbebani dan nggak bahagia." lanjutnya.

Harry menghela napas, "Kalo itu menurut lo yang terbaik, ya udah nggak apa-apa. Yang penting lo harus optimis buat sembuh."

Theo tersenyum. Mereka berpelukan ala lelaki, lalu kembali pada aktivitas masing-masing. Theo dengan gamenya, dan Harry dengan ponselnya.

Tak menyadari jika ada seseorang yang mendengarkan mereka dengan tubuh yang bertopang pada dinding.

Kinan. Sekarang Ia tahu perasaannya terbalas. Tapi kenapa rasa sakit mengalahkan rasa bahagia di hatinya?

Mungkin karena kehilangan Theo akan jauh lebih menyakitkan dibanding cintanya yang tak terbalas.

Ia hanya ingin satu. Ingin Theo sembuh. Itu saja.

***









Friendship (DRAMIONE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang