Lanjutan-1

45 8 0
                                    

Kini Zafa terduduk di sebuah bangku taman bersamaan dengan Meysa dan Manda yang mengapitnya. Mencoba menenangkannya dengan berbagai cara, namun Zafa hanya terdiam sembari memandangi sepatunya , matanya kosong dan dia terus termenung tanpa mengatakan apapun.

"Sumpah, gue mendingan lo marah marah dari pada diem gini. Kaya bukan lo banget tau nggak Fa" Manda mengomel tidak jelas karna sedari tadi Zafa terdiam, dan itu benar benar membuatnya frustasi

"Gue yakin pasti Niko punya alesan buat  ketemu sama kakak lo" berbeda dengan Manda, Meysa lebih mengerti bagaimana perasaan Zafa kali ini, dan ia tahu bahwa yang dibutuhka  Zafa hanyalah kata penenang bukan makian

"Entah, gue harus mikir kayak gimana. Tapi yang jelas gue kecewa sama Niko" ujar Zafa kini membuka mulut, gadis itu masih menatap kosong kedua kakinya

"Lo jangan ngeliat sesuatu dari sudut pandang lo doang kali Fa, jangan suka berasumsi sendiri. Kan lo yang sakit sendiri jadinya. Lo tanggung sendiri. Sementara lo juga nggak pernah cerita sama nyokap lo" ujar Meysa lagi, kini Zafa kembali terdiam. Memang benar adanya, sekalipun Zafa masih memiliki ibunya, tapi seperti ada jarak yang jauh diantara mereka

"Kalo lo begini terus. Kapan lo bisa baikan sama hidup lo sendiri? Jangan nyakitin diri sendiri Zafa, lo mah ngomong doang tau nggak" ucapan Manda kin berhasil membuat gadis itu menatapnya dengan dahi berkerut

"Lo tuh cuma sok bijak di luarnya doang, tapi hati lo ancur. Zafa Zafa, gue temen lo dari kelas 10, gue hafal dari lo yang lagi nahan kentut sampe nahan sakit, jangan sok kuat sendirian deh Fa, cerita itu juga perlu. Hidup nggak semudah kata kata bijak. Makanya jangan kebanyakan baca novel, di novel hidup seseorang itu bisa di atur dan dibuat sesempurna mungkin, tapi kalo di dunia nyata emang bisa di atur sama dibuat sesempurna mungkin?" tambah Manda dengan kata kata pedasnya, memag menyakitkan tapi ini juga untuk kepentingan Zafa .

"Nggak ada yang nggak mungkinkan nda? Apa salah kalo gue ngebuat hidup gue sesempurna mungkin? Gue bisa ngatur hidup gue sendiri kok" Zafa angkat bicara, memang seperti itu, dia sedikit keras kepala dari kelihatannya.

"Zafa Sagita, seusaha apapun lo buat ngelakuin hal itu, nggak bakalan ngerubah takdir" Manda kini benar benar kejabisan rasa sabarnya, seperti ada yang meletup-letup dalam dirinya namun masih ia tajan

"Gue ngga berusaha ngerubah takdir nda, tapi memperbaikinya" kata Zafa masih kekeh pada pendiriannya. Dan itu berhasil membuat Manda dan Meysa menghela nafas gusar

"Ini pasti kata kata dari novel deh, hidup lo tuh bukan cerita ya Fa, ini tuh realita bukan dongeng" Manda bangkit dan berjalan menjauhi Zafa dan Meysa, gadis itu berlalu tanpa pamit

"Lo mau kemana?" teriak Meysa sekeras mungkin

Tapi tak ada balasan apapun dari gadis itu, ia hanya terus berjalan tanpa memperdulikan apapun lagi

"Manda ada benernya Fa, nggak semua yang lo pikir itu bener, dan nggak semua yang lo lakuin itu juga bener. Iya emang bener menurut versi lo, karna lo yang ngebuat fikiran itu sendiri" ujar Meysa lebih lembut dan hati hati, walaupun terkadang Meysa galak setengah mati, tapi disaat temannya membutuhkan tempat bersadar ia akan suka rela melakukan hal itu di urutan paling depan, setidaknya ia akan menjadi pendengar yang baik

"Udah ya, lo nanti bicarain masalah ini sama Niko baik baik, jangan pakek emosi. Kalian temenan udah dari lama, sayang kalo berantem cuma gara gara masalah nggak jelas" sambung Meysa

"Manda gimana?" tanya Zafa dengan raut muka bersalah, gadis itu sudah tak dapat melihat punggung Manda lagi dari tempatnya

"Manda biar gue yang urus, lo tenang aja. Dia pasti ngerti kok. Sekarang kita pulang aja. Kasian mang Diman nungguin" jawab Meysa kalem, mereka berduapun bangkit dari bangku itu dan meninggalkan taman yang sejak tadi sepi tidak berpenghuni. Seperti hati kalian barang kali.
***

Zafa Sagita terduduk di depan meja belajarnya, ia mengetuk ngetukan penanya di atas bukunya dengan gelisah, Meysa sudah pulanh sejak tadi dan mang Diman yang mengantarnya, sementara Manda sejak tadi tidak membalas Line chat ari Zafa yang memohon maaf atas kekeras kepalaannya siang tadi, walaupu  Zafa keras kepala, tapi baginya meminta maaf itu adalah hal penting. Apalagi jika dia berbuat salah, ia hanya tak ingin bermusuh musuhan dengan sahabatnya terlalu lama.

Tok.. Tok.. Tok, Zafa beralih pada suara ketukan di pintu kamarnya, ia melihat simbok membuka pintu kamarna dengan sangat perlahan

"Non, nyonya pulang. Katanya pengen ngobrol sama enon. Non Zafa di tunggu d ruang kerjanya nyonya"

"Iya mbok Zafa turun " jawab Zafa lembut, dia segera bangkit dan mengikuti simbok dari belakang, tentu saja untuk pergi menemui ibunya di ruang kerja

Zafa menuruni anak tangga dengan hati hati, ia menuju ke ruang kerja ibunya yang ada disebelah kiri dengan plangkat 'dilarang masuk jika tanpa keperluan'. Gadis itu mengetuk pintu sebelum masuk dan kemudian memutar perlahan knop pintu setelah ibunya mengatakan masuk dari dalam

"Mamah manggil Zafa?" Tanya Zafa dengan sopan. Dilihatnya ibunya berdiri didekat jendela dengan menyecao segelas teh hangat yang mungkin saja baru dibuatkan simbok

"Kamu abis nangis?" Tanya ibunya berbalik dan meletakan tehnya, kini ia duduk di kursi kerjanya sembari menatap Zafa yang masih terdiam

"Buat apa nangisin orang yang udah nggak perduli lagi sama kamu? Kalo dia aja bisa tega sama kita kenapa kita enggak?" Zafa menelan ludahnya kuat, ia tidak tahu jika selama ini ibunya beranggapan seperti itu tentang Dava, putra kandungnya sendiri.

"Tapi mah.."

"Selama Zafa masuk SMA ini pernah nggak bang Dava nemuin Zafa, pernah nggak dia sms Zafa buat sekedar basa basi? Mamah tahu dari mang Diman, mang Diman cerita semuanya sama mamah" jelas ibunya sejelas jelasnya, dan itu membuat Zafa kembali terdiam. Benar ucapan ibunya ini,  bahkan Dava atau ayahnya tidak pernah menanyakan kabarnya sekalipun.

"Mamah nggak mau kamu sedih gara gara hal yang nggak penting ya Fa, mamah nggak mau nilai kamu jelek karna kamu terlalu memikirkan hal ini. Cukup fokus sama cita cita kamu buat jadi dokter, buktiin sama mereka kalau Zafa bisa. Jadiin motivasi dong, masa gitu aja nangis" sambung ibunya jelas, seperti dapat gemblengan. Zafa manahan agar tida mengeha nafas berat

"Setidaknya kamu masih punya mamah, mamah nggak mau kamu kecewain mamah, cuma Zafa yang mamah punya sekarang" Jleb! Seperti ditusuk ribuan jarum, hati Zafa benar benar sakit mendengarnya. Ternyata selama ini ibunya juga kesepian sepertinya, namun ia terlalu sibuk walau hanya untuk sekedar mengobrol dengan Zafa seperti ini

"Zafa nggak bakalan ngecewain mamah" ujar Zafa, ibunya mengangguk paham. Wanita paruh baya itupun mendekati Zafa dan memeluk putrinya lembut

"Cuma Zafa yang bisa mamah andelin selama ini" ujarnya disela sela pelukan hangat itu, Zafa mengangguk. Untu pertama kalinya setelah sekian lama. Ia mampu merasakan pelukan hangat dari ibunya selain saat mereka sedang mengambil rapor, terkadang ibunya memeluknya didepan banyak orang untuk dibanggakan karena ia peringkat satu. Dan selama ini Zafa salah beranggapan jika ibunya tak memperhatikannya dari jauh.
***

Jika kita menanam duri pada seseorang, setidaknya kita mencabut duri itu sendiri dengan usaha kita.
Memang akan terasa sakit, tapi itu jauh lebih baik dari pada kita menyisakan duri itu disana lebih lama
Dan memberi luka~

Of Your EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang