Part 1 - Pertemuan

439 22 2
                                    

Pasti aku satu-satunya orang diseluruh dunia yang menginginkan liburan musim panas berakhir lebih cepat. Hanya ada satu alasan untuk itu; Pertandingan Basket awal musim merupakan langkah penentu bagi Choi Minho, sahabatku, untuk melebarkan sayap didunia yang sudah ia geluti selama delapan tahun itu.

Kupacu mobilku lebih cepat dari biasanya. Jarum jam menunjukan pukul sembilan pagi dan ini baru seperempat perjalanan. Lampu lalu lintas berganti merah, entah kenapa rasanya jalanan kota Seoul pagi ini bertambah ramai.

Aku menurunkan sebagian jendela mobil. Menghirup udara segar adalah opsi terbaik sembari menunggu lampu lalu lintas berganti warna. Ah, indah sekali! Mengapa aku baru menyadariya? Pantas, statistik wisatawan melonjak tajam. Seoul memang selalu indah.

Satu gambar lain—yang tak kalah indah menggantung di spion dalam mobil berhasil mengalihkan pandanganku. Tiga bocah berusia 12 tahun dengan girangnya menunjukan medali yang menggantung dileher ketiganya. Mereka bukanlah atlit olahraga ataupun pemenang olimpiade sains, melainkan medali tersebut hasil memenangkan lomba memakan Ramyun di festival Sekolah Menengah kami yang pertama.

Memutar ulang memori itu membuatku hampir seperti orang gila tertawa sendirian.

Kring—

"Halo—"

"Aduh, kau tahu sekarang jam berapa? Kau dimana, Seohyun?" tanya Tiffany dengan volume tinggi dari sebrang telepon.

"Sepertinya aku akan terlambat, aku terjebak macet."

"Bahkan kau sudah melewatkan setengah dari pertandingan. Kau tahu ini pertandingan penting baginya?"

"Aku tahu. Maaf."

Tiffany mengakhiri sambungannya. Aku tahu sekali ia marah. Tiffany adalah sahabat terbaikku setelah Minho; kami memang tidak selalu sependapat, bahkan kami memiliki karakter yang bertolak belakang. Namun hanya Tiffany yang mengetahui bagaimana lelahnya aku membuat bekal untuk Minho setiap pagi atau bagaimana aku terjaga semalaman menyulam syal kado Natalnya. Satu-satunya orang yang tidak bisa aku bohongi.

Bagi Tiffany mungkin aku terlihat menyedihkan. Dua belas tahun bukanlah waktu yang singkat dan aku melewatkan begitu saja ribuan kesempatan yang aku punya untuk menyatakan perasaanku pada Minho. Kurasa lagi lagi air mataku akan keluar mengingat hal-hal seperti ini. Rasanya baru kemarin ibu Minho menitipkan ia ke rumahku. Waktu memang berjalan cepat.

Aku, Tiffany dan Minho berteman sejak kami duduk dibangku sekolah dasar. Aku dan Tiffany adalah tablemate. Seperti yang aku katakan, aku dan Tiffany memang tidak setipe. Aku cukup tertarik dengan Tiffany yang merupakan bintang dikelas kami. Ia cukup pintar, walaupun dari segi prestasi aku berada jauh diatasnya. Satu hal yang selalu membuatku iri padanya, yaitu kepercayaan dirinya. Ia dapat berbicara dengan lantang didepan kelas, mengutarakan perasaan ataupun pendapatnya. Setidaknya ia akan menolak jika ia tidak menyukai suatu hal, berbeda denganku yang hanya bisa mengangguk mengiyakan.

Sedangkan Minho adalah tetangga sebelah rumahku. Ibu Minho adalah orangtua tunggal, semenjak ayahnya meninggal Bibi, sebutanku untuk Ibu Minho, bekerja hingga larut malam. Untuk alasan itulah Bibi menitipkan Minho dirumahku. Berbeda dengan yang lain, aku langsung merasa nyaman bahkan pada awal perkenalan kami. Minho selalu tahu bagaimana menenangkan bocah kecil yang cengeng ini.

Bererita membuat perjalanan jauhku terlupakan, tak terasa aku sudah tiba di parkiran Gymnasium. Aku bergegas menuju kedalam, tidak lupa mengalungkan kamera terlebih dahulu dileherku. Sorak sorai penonton menjadi back sound pemanis.

Dan betapa terkejutnya ketika pemandangan yang terlihat adalah lapangan kosong, juga penonton yang bergerak kearahku. Lalu pertandingannya?

Kring—

Enchanted (Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang