Menghanguskan Segala Topeng

333 109 122
                                    

Pandangan gadis itu tertegun pada pigura yang berderak di lantai, meninggalkan serpihan-serpihan tajam. Binar kecemasan terpancar akan penyebab jatuhnya foto dari meja yang janggal. Mendadak ia kebingungan sendiri, seperti ada yang melintas cepat di alam pikirannya.

Ia menarik napas dalam dan merendahkan badan. Jemarinya yang lentik terulur untuk memunguti pecahan beling yang sewaktu-waktu bisa menggores kulitnya. Tetapi, sesuatu membuatnya terdiam kala sebuah tangan cukup kekar mendahuluinya mengambil serpihan pigura dan tetap bergerak cekatan walau ia melihat tangan lelaki itu ada yang tergores.

 Tetapi, sesuatu membuatnya terdiam kala sebuah tangan cukup kekar mendahuluinya mengambil serpihan pigura dan tetap bergerak cekatan walau ia melihat tangan lelaki itu ada yang tergores

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gintan hanya terpaku menatapnya lalu setelah bayangnya menghilang sebab hendak membuang pecahan-pecahan itu, ia memungut selembar foto yang tak lain adalah foto keluarga. Tentu lelaki yang barusan menolongnya itu ada di sana. Kalau tidak salah, Nyonya Maulinda memanggilnya Ryan, anak lelaki yang seumuran dengan Yudha.

"Mereka terlihat harmonis walau kelima anak ini bukan dari rahim Nyonya," desirnya merasa kagum, walau sesekali iba membumbung mengingat masalah yang tengah bersarang di keluarga ini.

"Jadi, kau sudah tahu bila kami adalah topeng semata?" tanyanya entah kembali kapan dan ia telah mengambil duduk dekat dengannya, memandang dirinya dan foto itu dalam, bergantian.

Gintan mengangguk, "Untuk pertama kalinya kau betah berada di rumah beberapa hari ini, biasanya kau sudah beranjak untuk melakukan aktivitas yang ... anak muda lakukan."

"Tak ada kebahagiaan yang tersedia untukku di rumah ini, karena itulah aku mencari pelampiasan di luar. Namun, semenjak dua anak itu diculik, kebebasanku mulai tertawan," keluhnya sempat menghela napas sebentar.

"Pelampiasan di luar?" heran gadis itu.

"Bukan hal-hal negatif seperti pergaulan bebas dan narkoba, hanya bermain basket dan berkumpul dengan kawan-kawan di basecamp," sanggah Ryan takut menduga gadis di depannya memikirkan perihal buruk mengenainya.

Gintan tersenyum kecil, "Aku tidak berpikiran sejauh itu tentangmu dan aku percaya kau tidak akan melakukan hal seperti itu."

Ryan tertawa renyah, "Rupanya kau sangat baik, kupikir pembantu muda sepertimu itu materialistis, perhitungan, perayu, dan pandangan negatif kebanyakan orang lainnya."

"Apakah karena itu kau dan lainnya bersikap angkuh kepadaku, maksudku kepada kami, para pembantu?" terka Gintan dengan nada setengah tinggi, ia sedikit merasa dilecehkan berkat untaian kalimat yang keluar dari mulut Ryan.

Lelaki itu menggeleng, "Tidak, tidak sesederhana itu. Untuk apa kami menjalankan ikatan, bertingkah baik pada semua orang di rumah ini kalau kami hanya dijadikan topeng?"

Gadis itu mengangguk paham, "Pasti rasanya sangatlah sakit. Apalagi semua kepura-puraan ini telah merenggut Nyonya Rida dan penculikan dua bocah itu. Apakah kalian tidak pernah berusaha untuk kabur?" tanya Gintan.

White HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang