Kepergian Yang Ketiga

318 144 174
                                    

Lelaki itu membawanya menelusuri gang kumuh yang berselimut gas metana akibat sampah yang bertumpuk. Bau-bau itu turut bercampur dengan debu, yang makin mengiris perih lubang penghidupannya kala menghirup udara. Ia sedikit terkagum pada majikannya yang tak terganggu sedikit pun. Mungkin ia sudah terbiasa, atau memang hidung tuannya yang tidak beres?

	Semakin tubuhnya menyelam jauh termakan mulut gang, semakin jelas pula kesenjangan sosial yang ditangkap indra penglihatannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semakin tubuhnya menyelam jauh termakan mulut gang, semakin jelas pula kesenjangan sosial yang ditangkap indra penglihatannya. Bayangkan, gedung-gedung megah berjejer di pinggir jalan, mengapit sebuah lorong dan tak dinyana di belakang gedung tersebut bersembunyi pemukiman tak layak huni. Apakah tidak ada pejabat yang melirik sedikit akan pemandangan ini?

Keheranan dalam dirinya kian mencuat begitu mereka berhenti, menyaksikan sebuah rumah dari kayu yang termakan usang. Tak ada jendela dan ventilasi yang menghias, sebagian genteng pun terlihat tidak simetris, dan tiangnya mulai dimakan rayap.

"Rumah siapa ini?" tanyanya melangkah maju, menyamai posisi majikannya.

"Mengapa kau tidak mencoba masuk dan melihat siapa yang tinggal?" jawab lelaki itu yang justru berbalik tanya, membuat Gintan mengernyitkan dahi.

Tuan Hernandia pun melangkah mendahuluinya lagi dan membuka pintu rumah itu, yang ternyata sama sekali tak dikunci. Deritan yang berdenging cukup memekikkan telinga gadis itu serta mencairkan kesenyapan di dalam kepengapan gang kecil tersebut.

Ia semakin menggeleng keras, enggan percaya dengan apa yang disuguhkan di hadapannya. Sebuah rumah kecil yang hanya memiliki satu ruangan, dengan dapur, kamar mandi, kamar tidur, dan lain-lain menyatu dalam sebuah bidang tanah. Hanya tirai kusam yang membatasi kamar mandi dan di sebelahnya, Nyonya Hernandia dan seorang bocah laki-laki, duduk termangu di atas ranjang reyot, yang tak kalah nyaring deritnya kala keduanya bangkit menjamu Gintan.

"Bagaimana kau bisa menemukan tempat ini, Nona Gintan?" sambutnya mengajak gadis itu duduk di sebuah kursi plastik.

"Sebenarnya, Tuan Hernandialah yang mengajakku kemari. Kami hanya tak sengaja bertemu di jalan," jawabnya memaksakan diri tersenyum sembari melirik lelaki paruh baya itu.

"Hatimu pasti berkecamuk akan ribuan pertanyaan setelah melihat kami di sini, bukan?" terka wanita itu yang disahut anggukan mantap oleh Gintan.

"Dan yang pertama kali ingin kutanyakan, dari mana Anda mendapat parut luka sebanyak itu?" tanyanya yang telah lama mengamati bekas luka yang menghias di sekujur tubuh istri majikannya.

"Luka ini ...,"

"Ibuku yang melakukannya," potong Tuan Hernandia singkat.

"Ia datang kemari suatu hari dan melukai istriku selagi aku tak ada," tambahnya seraya menarik bocah laki-laki itu ke dalam pangkuannya.

Gintan mengangguk mengerti. Sedari dulu ia sudah merasa ada yang tidak beres dengan ibu majikannya itu dan seperti menyembunyikan sesuatu. Hanya sialnya, pastilah nenek itu telah mengetahui keberadaan majikannya terlebih dahulu dan mengerikannya lagi, ia tak menyangka si tua bangka itu dapat melakukan hal sekeji ini.

White HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang