Babak Akhir Bagian I

85 13 4
                                    

Maulinda meringkuk di balik pohon yang masih satu pekarangan dengan rumah itu. Napasnya kembang kempis menahan gejolak yang berkecamuk di dadanya. Ia sedikit lega bisa keluar dengan selamat pada detik-detik terakhir, sebelum pintu keluar terbakar.

Ia tidak berani menoleh ke belakang. Keselamatan majikannya? Masa bodoh, itu bukan urusannya lagi. Orang itu telah membunuh banyak orang dan ini adalah karma kejam yang sangat pantas.

Tidak, wanita paruh baya itu menggeleng keras agar tak ada bulir bening yang mengalir. Ia tak sudi sedikit pun menangisi orang semacam itu, benar-benar tak sudi.

"Kau pikir bisa lari dariku, Maulinda?"

Maulinda membekap mulutnya, mustahil. Harusnya lelaki itu sudah mati terlalap api yang menyala bersama rumah titisan setan itu. Tidak, ia pasti salah dengar.

Seringai itu sudah ada di hadapannya. Benar, ini bukan halusinasi. Lelaki itu masih hidup. Bahkan, tangannya masih sigap mencekal lehernya dengan begitu cepat dan cekatan.

"Bukankah aku sudah bilang kalau semua penghuni rumah itu akan disucikan?"

Maulinda mengerang, tetapi sekeras apapun tidak ada gunanya. Tenaga Hernandia masih terlalu kuat untuk wanita seumurnya.

Ia hampir tak bisa bernapas. Jalur udara yang mengalir di tubuhnya tersumbat di bagian kerongkongan. Gerakan memberontaknya tak kunjung menuai hasil. Justru dirinya yang kian melemas sebab kehabisan udara untuk dihirup.

Matanya mulai berkaca-kaca. "Lepaskan aku ...."

Namun, bagai tak memiliki hati, lelaki itu semakin mengecangkan cengkramannya. Jemari di mana kuku tajamnya tertancap, perlahan ia tusukkan pada leher Maulinda.

Mulut Hernandia menyeringai puas melihat kondisi mantan pembantunya yang mulai kalap. Tidak ada jiwa manusia lagi di dalam tubuhnya. Semua sudah tertutup oleh kegelapan dari iblis, yang merasuk pada dirinya.

"Ada pesan terakhir sebelum malaikat mautmu pergi, hah?" Ia menekan jarinya semakin dalam, hingga wanita itu memuntahkan darah dan mengenai wajahnya.

Hernandia tidak merasa jijik sama sekali. Baginya itu menjadi bonus kesenangan ketika melihat cairan kental keluar dari sosok yang ia sisa. Sial, ia benar-benar menikmati semua ini. Kepalanya langsung terlintas ketika ia menganiaya Rida di dalam gudang itu.

Momen yang paling membahagiakan di hidupnya, ia pun tersenyum miring.

"Aku rasa tidak ada kata.... "

BUGH!!!

Hantaman balok keras mengenai tengkuk lelaki itu. Tubuhnya langsung jatuh terhuyung sembari mengerang keras. Begitu pun dengan tubuh Maulinda yang tersungkur dan gelagapan, ia bisa bernapas kembali.

Gintan dengan sigap langsung memapah seniornya itu, walaupun kesadaran Maulinda belum terkumpul semua. Lebron yang ikut membantu terus mengomando agar mereka bergerak lebih cepat.

"Cepat bawa Nyonya Maulinda pergi, Gintan! Sebelum manusia biadab itu bangkit lagi!" Lebron mengusir dengan menunjuk menggunakan balok yang masih dipegangnya erat. Tanpa sadar, jika Hernandia tiba-tiba membelalakkan mata dan tersenyum mengerikan.

Sial, Gintan harus terjatuh. Badan kecilnya tak begitu kuat menopang Maulinda, yang sebenarnya hanya sedikit lebih besar. Mungkin tenanganya sudah terkuras habis setelah beragam emosi, kepanikan, dan peristiwa yang mereka alami.

"Nyonya Maulinda, kau tidak apa-apa?" Gintan menahan sakitnya dengan ringisan kecil. Sayangnya, yang ditanya menjawab dengan suara tak jelas.

Keduanya berusaha berdiri tetapi tak kunjung bisa. Gintan telah berada pada batasnya, begitu pun dengan Maulinda.

White HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang