Tadi Pa Bambang, guru fisika, nyuruh gue buat bawain buku anak-anak sekelas ke ruang guru. Kebetulan ini masih jam pelajaran, jadi koridor sepi banget. Balik dari ruang guru, gue yang lagi berjalan sendiri ngeliat Tristan yang lagi jalan sendiri juga. Berlawanan arah. Tapi kayaknya dia belum menyadari adanya gue disini. Karena dari tadi dia nunduk, ada apa?
Entah dapet keberanian darimana, gue berjalan agak ketengah dan berharap kalo Tristan bakal nyenggol gue dan akhirnya dia minta maaf dan terjadi obrolan singkat sehingga gue bisa baik-baik nanya ke dia apa yang sebenarnya terjadi.
Tapi ternyata fantasi gue salah besar. Dia malah berjalan minggir dan badannya sama sekali ga nyenggol badan gue. Lagian lo mikir apaan sih Mol, berharap banget disenggol sama Tristan, rutuk gue dalam hati.
“Tan!” panggil gue akhirnya setelah jarak antara kami cukup berjauhan.
Ia berhenti tanpa menolah ke belakang, “apa?” Tanyanya pelan, masih tersirat bahwa ia penasaran.
Gue berjalan ke arah Tristan hingga kami berhadap-hadapan. “untuk keseribu kalinya, gue nanya, lo kenapa sih?”
“dan untuk keseribu kalinya, gue jawab, gue gak apa-apa” Tanyanya acuh.
Dia berjalan menjauhi gue tapi dengan segera gue tahan tangannya. “kali ini lo gak bisa menghindar, Tan. Lo ngejauhin gue secara tiba-tiba dan lo bersikap seolah kita adalah stranger yang gak pernah saling kenal,” jelas gue.
Tristan diam tak bergeming.
“lo marah sama gue?” Tanya gue.
Tristan masih diam, dia membuang mukanya.
“gue punya salah sama lo?” Tanya gue lagi.
Gue menarik nafas panjang, “kalo emang iya, maafin gue please. Sejujurnya gue gak nyaman kita setiap hari kaya gini”
Dalam hati gue merutuki mulut gue yang bisa-bisanya ngomong kaya gitu, cari mati itu namanya. Semoga Tristan gak mikir sampe mana-mana ya tuhan.
Akhirnya Tristan buka mulut, “kita bicarain ini di taman belakang sekolah. Begitu bel bunyi, langsung kesana” katanya lalu meninggalkan gue sendiri di koridor.
Masuk ke kelas ternyata Pa Bambang lagi ngadain post test, “kemana aja kamu, Mollista?” Tanyanya kejam. Matanya melotot menatap gue tajam.
“kan dari ruang guru nyimpen buku fisika kelas ini” jawab gue seadanya.
“nyimpen buku sampe setangah jam, hm?” Tanyanya lagi.
Gue melotot, dan langsung melirik jam tangan. Benar, sekarang 15 menit lagi pelajaran fisika akan berakhir.
Gue nyengir lebar, “tadi ada halangan” iya, Tristan.
**
Bel sekolah baru aja berbunyi, dan dengan cepat gue membereskan buku-buku pelajaran dan memasukkannya ke dalam tas.Vivi yang melihat gue terburu-buru mengerutkan dahinya, “buru-buru amat, ada apa sih?” Tanyanya.
“Tristan,” ucap gue setengah berbisik.
Vivi membulatkan matanya, “serius? Lo mau ngapain?”
“Tristan ngajak gue ngomong di taman belakang” jawab gue.
Vivi hanya manggut-manggut. “jangan nguping, lo!” ujar gue.
Detik selanjutnya gue menepuk bahunya dan berlari keluar kelas, “duluan ya!”
**
Begitu gue nyampe di halaman belakang, seorang cowok berbadan tinggi tegap tengah berdiri membelakangi gue. Diam-diam gue tersenyum, dia serius.
Belum sempat gue memanggil namanya, ia sudah berbalik badan terlabih dahulu. Cukup lama kami berada di posisi seperti ini. Gue yang daritadi melihat matanya tak kunjung mengalihkan pandangan.
“Tan,”
“Mol,”
Kecanggungan semakin menyelimuti kami begitu gue dan Tristan mengucapkannya berbarengan. Rasanya pengen ngubur diri sendiri.
“lo dulu,”
“lo dulu,”
Ucap kami berbarengan, lagi. Gue merutuki mulut gue, kenapa barengan terus sih.Udah tau suasana lagi canggung gini.
Terlihat Tristan yang menggaruk tengkuknya frustasi.
Dan akhirnya Tristan angkat bicara, kali ini gak berbarengan lagi. “gue udah tau semuanya, Dy”
Gue mengrutkan dari, ‘Dy?’
“gue tau siapa lo sebenarnya, Maudy” terdengar ada penekanan pada kata ‘Maudy’
Gue mematung, dia tau dari mana? Kepala gue tertunduk ke bawah, gak berani buat natap matanya langsung. Serem abis.
“taruhan sama gue, sekarang lo pasti lagi mikir kenapa dan darimana gue tau semuanya,” lanjut Tristan.
Gue masih diam tak bergeming, terlalu susah buat mencerna semuanya.
“sebentar lagi semua bakal tau identitas lo yang sebenarnya Dy,”
Gue mendongak, mengisyaratkan Tristan untuk melanjutkan perkataannya.
“iya,dan gue yakin lo gamau kan semua orang tau identitas lo bukan dari mulut lo sendiri?”
Gue masih mencerna kata-katanya.
“gue tau satu bulan lagi adalah acara premiere film terbaru lo. Pikirin baik-baik, Dy” ujarnya dan langsung meninggalkan gue di taman belakang sendirian.
Tanpa berpikir panjang, gue merongoh iphone gue yang ada di dalam tas dan menelepon seseorang.
“lo dimana?”
“bisa ke rumah gue sekarang, gak?”
“gue harus cerita semuanya sama lo,”
“oke, gue tunggu”
Minggu, 2 Maret 2014
Fix sekarang gue cuma bisa update setiap minggu satu kali. Untuk keseribu kalinya, maaf ya. Serius gue gak nyangka bisa dapet hampir 800 votes padahal baru 14 chapter, dapet 68 votes di chapter Tiga Belas dan 64 votes di chapter Empat Belas. Gak tau deh di chapter Lima Belas ini dapet vote berapa, yang pasti gue selalu berharap lebih banyak, ya! Hehe. Kalian luar biasa.
PS: Hate me for who I am. Idc. At least I'm not pretending to be someone I'm not. -KS
KAMU SEDANG MEMBACA
NerdStar
Teen FictionMollista Maudy-atau biasa dipanggil Molly, cewek paling unseen di SMA Jaya Bangsa, merasa hidupnya baik-baik saja asalkan tidak ada yang tahu menahu tentang identitasnya yang selama ini ia tutup-tutupi. Hingga akhirnya ia dipertemukan oleh Tristan...