Ada info penting, tolong dibaca ya, di akhir.
**
“Dufan?” Tanya gue begitu keluar dari mobil.
Tristan mengangguk, “kenapa? Gue selalu suka ancol, gak Dufan ataupun Seaworld”
“ini kan udah sore, Tan. Sayang loh udah bayar mahal-mahal tapi cuma sebentar”
Buru-buru Tristan narik tangan gue, “yaelah gapapa kali, nyante aja. Lagian Dufan lagi sepi kan, enak jadinya”
Setelah beli tiket dan segala macem, akhirnya gue dan Tristan masuk dufan. Kami berdua sama-sama gak tau mau naik wahana apa dulu.
“kan lo yang ngajak, Tan. Kok malah lo yang bingung, ah” gerutu gue.
Tristan berjalan mendahului gue, “sebenernya gue mau ngomong sesuatu, Mol”
Gue berusaha menyamakan langkah gue dengan Tristan, “ngomong apa?”
Sumpah, ini bikin gue deg-degan setengah mampus. Tristan mau ngomong apa? Semoga ngomongin yang iya-iya. Karena gue emang udah punya firasat. Eh, ngomong apa sih. Entar jatoh sakit baru tau rasa, Mol.
Tristan diam gak menjawab pertanyaan gue, “kita naik roller coaster, yuk!”
Gue memutar bola mata, “katanya tadi mau ngomong”
Aduh gila, jangan-jangan harapan gue emang ketinggian, lagi. Buktinya aja sekarang Tristan gak jadi ngomong. Tuh, kan.
“ayo cepetan, keburu malem!” lagi-lagi Tristan menarik tangan gue.
Seperti yang Tristan bilang, dufan emang sepi banget sekarang. Dengan cepat kita duduk di barisan paling depan roller coaster.
Perlahan roller coaster maju, dan udah sampe di puncaknya. Dan begitu turun muka gue pasti gak bisa di kontrol.
Tristan memegang tangan gue, “begitu roller coaster ini turun dengan kecepatan tinggi, gue mau ngomong”
Belom sempet gue nanya, roller coaster nya udah maju dan rasanya jantung gue mau copot.
“GUE SAYANG SAMA LO, MOLLISTA! WILL YOU BE MINE?” teriak Tristan ditengah-tengah wahana ini maju.
Dengan refleks dan entah keberanian darimana, gue langsung menjawab, “GUE JUGA SAYANG SAMA LO, TAN! IT’S A YES OF COURSE”
Dan perlahan, roller coaster ini pun berhenti. Yang naik wahana ini emang cuma berdua, gak ada orang lain lagi.
“jadi?” Tanya Tristan sambil turun dari roller coaster nya.
Muka gue langsung memerah begitu inget kejadian tadi. Demi tuhan, itu refleks.
Tristan udah senyum-senyum gajelas daritadi. Gils, gue makin malu.
“gausah malu-malu gitu ah,” goda Tristan. Gue hanya memukul lengannya.
“naik bianglala yuk, matahari nya udah mau terbenam, tuh!”
Sesampainya disana, Tristan membisikan sesuatu ke mbak-mbak petugasnya. Gatau apaan.
Begitu kami menempati salah satu tempat duduk. Aduh, kayak kapsule gitu deh pokoknya yang ada di bianglala.
“tadi ngomong apa?” Tanya gue.
Tristan menggelengkan kepalanya, “bukan apa-apa”
Gue mengedikkan bahu, “oh,”
“Mol, aku mau cerita sesuatu” ujar Tristan.
Entah tahu sejak kapan Tristan jadi ngomong pake aku-kamu.
“apa?”
“sebenernya.... mama aku meninggal waktu aku kelas 2 SMP”
“i’m sorry to hear that,”
Tristan tersenyum pedih, “no need”
“dan kamu tahu apa? begitu aku liat kamu pertama kali di depan kelas pas aku baru tau kalo kamu jadi partner belajar aku, inget gak?”
Gue terkekeh dan mengangguk.
“aku ngerasa kalo bagian hidup aku yang selama ini hilang ketemu lagi. Apalagi pas ngeliat senyum kamu”
Gue berusaha menyembunyikan muka gue yang gue yakin udah merah tomat. Sialan.
“pasti ibu kamu cantik banget, ya” puji gue.
Tristan mengangguk, “gak kalah cantik kok sama kamu”
Gue tertawa malu, “apaan, ah”
“kalo gitu besok kita main ke makam ibu kamu ya, Tan! Makam nya di jakarta bukan?”
Tristan tersenyum lebar, “di bogor sih, tapi kan masih deket”
Gue menatap Tristan dengan tatapan menerawang, “semua orang pasti bakalan balik ke pangkuan tuhan, siapa pun itu. Dan cepat atau lambat kita harus merelakannya. Nothing lasts forever, Tan”
Lagi-lagi Tristan tersenyum. “kalo gitu, if ‘nothing’ lasts forever, will you be my ‘nothing’?”
Gue tertawa dan mengangguk. “of course,”
Selanjutnya Tristan mendaratkan bibirnya di bibir gue. Membuat ribuan kupu-kupu berterbangan di perut ini. Menimbulkan sensasi yang aneh yang belum pernah gue rasain sebelumya. In this is my first kiss. He stole it.
Beberapa detik kemudian, puluhan kembang api menyala di langit yang sudah gelap. Rupanya Tristan memang menyiapkan ini, dengan si mbak-mbak petugas dufan tadi, haha.
“I love you, Mollista”
“Love you too, Willam”
**
Jadi ini akhir dari kisah cinta gue yang penuh drama dan berliku-liku. Berakhir dengan bahagia. Hidup gue bakal berubah setelah ini. Identitas gue terbongkar, menjadi ketua klub teater, dan tentu menjadi pacar Tristan. Dan dengan ini, nama gue tertera dalam daftar Top Teen SMA Jaya Bangsa.
Rivaldo Bagaskara, ketua klub basket
Nathanael Wiratama, ketua klub hockey
Davine Mahesa Wijaya, ketua klub fotografi
Tania Addelyn Emerelda, ketua klub cheers
Leora Callista Subrata, ketua klub softball
Mollista Maudy Aurelia, ketua klub teater
-END-
Minggu, 6 April 2014
Gila, tumben kan gue post langsung 2 chapter? Harusnya ini masih di chapter sembilan belas. Tapi pengen gue genapin jadi dua puluh chapter. Akhirnya dibagi dua. AND THIS IS THE LAST CHAP GUYS! Gak nyangka akhirnya Nerdstar tamat juga. Eh, belom deng, masih ada epilog. Makasih semuanya yang udah ninggalin jejak di cerita ini. Apapun itu, votes, comment, ataupun cuma nambahin reads buku ini pun gapapa deh. A massive thank you:')
Ohiya, gue bingung banget sumpah epilog nya mau kayak gimana. Jadi gini aja. Ada yang mau kalian tanyain tentang cerita ini yang kurang jelas? Co: kok mamanya tristan bisa meninggal? nah entar bakalan dijelasin di epilog. Kalian boleh tanya apa aja, asal yang memungkinkan untuk dijawab. Sorry kepanjangan, gitu ajasih hehe:) Makasih!
KAMU SEDANG MEMBACA
NerdStar
Teen FictionMollista Maudy-atau biasa dipanggil Molly, cewek paling unseen di SMA Jaya Bangsa, merasa hidupnya baik-baik saja asalkan tidak ada yang tahu menahu tentang identitasnya yang selama ini ia tutup-tutupi. Hingga akhirnya ia dipertemukan oleh Tristan...