04 | Menyerah?

531 59 2
                                    

"Kalo lo bersiap melukai hati seseorang yang selembut malaikat, artinya lo udah siap membangunkan harimau yang sedang tidur. Lo mungkin akan melukai dia, tapi sebenarnya hati lo yang lebih terluka."

🥀

Aletta merebahkan tubuhnya ke kasur tanpa melepas seragamnya. Pikirannya kembali terputar-putar dengan perkataan Devano tadi.

"Apa mungkin gue nyerah aja, ya?" pikirnya.

"Ngak-ngak, gue gak boleh nyerah. Sejak kapan ada Aletta yang gampang nyerah? Inget Let, semuanya butuh usaha." Ia berusaha untuk membangkitkan rasa semangatnya lagi.

Kakinya melangkah ke kamar mandi, tidak lupa ia mengambil handuk. Tak sampai lima belas menit, ia keluar dari kamar mandi dengan kaos polos dan hot pants. Aletta berbaring lagi di kasurnya sambil memainkan ponselnya. Tangannya membuka aplikasi LINE kemudian notifikasi dari group The Girl's membuatnya menekan untuk membuka Group Chat itu.

Girl's Squad (4)

Tiffany : Hai, cecan numpang lewat.

Tara : Lewat bayar.

Mentari : Pelit lo.

Aletta tertawa membaca chat teman-temannya. Lalu ia berniat untuk menyapa teman-temannya.

Aletta : Hai.


Tara : Hai, Letta sayang.

Aletta : Najis.


Mentari : Hai Letta! Kangen, dong.

Tiffany : Hai juga Let. I miss u so so so so much.

Mereka bertiga adalah sahabat Tari. Mereka bersahabat sejak SMP kecuali Tara yang sudah bersahabat dengan Aletta sedari kecil. Keluarga Mentari dan Tiffany yang merupakan saudara, memutuskan untuk pindah ke Bandung karena pekerjaan, sehingga sekarang mereka berpisah.

Aletta : Miss you too gais. Sini balik lagi ke Jakarta.


Tara : Nah! Sini balik lagi.

Mentari : Maunya sih gitu🥺

Aletta : Ayo ketemuan. Kangen banget.


Tiffany : Sini ke Bandung aja kalian.

Aletta : Kapan-kapan. Nanti gue kabarin kalo ke Bandung. Udah dulu ya, gue mau berak.


Tara : Jorok banget sih punya temen.

Tiffany : (2)

Mentari : (3)

Aletta menyudahkan obrolan mereka karena tiba-tiba perutnya terasa mules. Aletta kembali lagi ke kamar mandi untuk membuang air besar yang sedari tadi ia tahan. Setelah terdengar suara flush dari dalam kamar mandi, Aletta keluar dengan perut yang tiba-tiba lapar. Ia berniat untuk membuat indomie dari pada mati kelaparan.

🥀


Devano mendorong pintu cafe tempat teman-temannya berada saat ini. Ketika matanya menangkap perkumpulan tiga orang cowok yang merupakan teman-temannya, ia menghampiri meja mereka, kemudian duduk di sebelah Genta yang kebetulan kursinya kosong.

"Lah, lo kapan datangnya?"

"Kayak setan aja." Arief menimpali omongan Rian. Devano tidak menjawab, ia hanya menyalakan korek api lalu membakarnya ke ujung batang rokok miliknya.

"Dateng-dateng udah ngerokok."

"Masalah?" Devano berkata sarkastik.

"Kabar lo gimana sama si cecan."

Devano mengernyit, "Cecan?"

"Aletta yaelah, si Letta kan cecan."

"Oh. Ya gitu."

"Gitu gimana?"

"Gitu."

"Iya, gue tau gitu. Tapi gitu gimana?"

"Gitu."

"Ngeselin lo, timpuk si Vano."

Devano terkekeh, sangat kecil.

"ASTAGA! SEORANG DEVANO ANGKASA PRAJAYA AKHIRNYA BISA KETAWA!" teriak Arief sambil menaiki kursi yang tadi ia duduki sehingga mengundang perhatian dari pengunjung kafe.

"Pusing gue punya temen gila. Turun, woi," ujar Rian sembari menahan malu mati-matian. Walaupun ia juga tak kalah gila dari Arief, tapi gak sampe malu-maluin kayak gini juga.

"Permis, Mas, di sini dilanggar untuk naik di atas kursi karena dapat merusak fasilitas kafe." Seorang pelayan menyadari keributan yang diperbuat oleh salah satu dari mereka, akhirnya memutuskan untuk mendatangi meja mereka.

"Aduh, Mas. Ini tuh keajaiban. Temen saya akhirnya bisa ketawa. Sana-sana."

Arief malah semakin asyik berteriak-teriak, tidak sadar bahwa teman-temannya sudah pusing dengan kegilaan dirinya. Sedangkan pengunjung lain tampak tidak nyaman dengan aksi dirinya.

"Mas, ma--"

"Udah sana, ah, saya lagi seneng. Bisa gak sih gak ganggu?"

"Rief, turun aja. Jangan bikin malu, kenapa, sih?" ujar Rian, ia benar-benar tidak pernah merasa semalu ini selama dia hidup.

"Anda sudah melanggar peraturan kafe dan menganggu kenyamanan pengunjung lainnya, mengerti? Saya kasih anda waktu untuk keluar dari kafe ini!" Teriakan pelayan itu membuat Arief terkejut dan terjatuh dari kursi yang ia naiki.

Diam-diam, Rian berbisik pada Genta, "Malu gak, sih, lo, punya temen kayak dia?"

"Malu, lah," balas Genta pelan.

"Apa-apaan, sih, Mas. Cabut aja, yuk, gais. Males gue di kafe ini." Arief berdiri dari posisi jatuhnya lalu dengan percaya diri keluar dari cafe tanpa sadar bahwa teman-temannya yang lain masih berada di dalam dan tidak berniat mengikutinya.

"Jadi? Lo sama Aletta gimana?" tanya Rian.

"Kayak biasa." Devano menjawab singkat.

"Kenapa, sih, lo ngak coba buka hati lo buat dia?"

"Males, gak perduli."

"Kalo lo gak mau di deketin sama dia, lo bilang sama dia, dari pada dia cape-cape ngejar lo tapi lo 'nya gak ngehargain dia. Karma itu ada, suatu saat lo bakal nyesel pernah sia-siain Aletta."

"Gue udah coba bilang sama dia, dianya aja yang keras kepala," sahut Devano.

"Tapi omongan lo itu nyakitin dia, yang lo lakuin sebagai alasan lo ngehindar dari dia itu malah buat dia sakit hati. Lo emang gak pernah berubah dari dulu. Lo masih gak bisa ngehargain perasaan orang ya, Devano Angkasa Prajaya."

Jika Rian sudah memanggil nama lengkapnya, artinya dia sudah kecewa dengan dirinya. Tapi sayangnya, ia benar-benar tak perduli dengan gadis itu.

"Perduli gue? Dia bukan siapa-siapa gue. Mau dia sakit hati gara-gara ucapan gue, gue gak perduli, bahkan sekalipun dia mati, gue gak akan pernah perduli." Devano berkata sinis.

Genta yang sedari tadi diam akhirnya mengeluarkan suara, "Kalo lo udah siap ngelukain hati seseorang yang selembut malaikat, artinya lo udah siap ngebangunin harimau yang lagi tidur. Lo mungkin bakal melukai dia, tapi sebenarnya hati lo yang lebih terluka."

Genta beranjak dari kursinya keluar dari kafe dan diikuti oleh Rian. Mereka meninggalkan Devano yang termenung karena ucapan kedua temannya.

"Gapapa dia ditinggalin?" tanya Rian sedikit khawatir.

"Biarin dia mikir dengan otaknya yang dangkal itu, gimana caranya menghargai perjuangan orang."

🥀

HSS [1] If I CanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang