17 | Satu Alasan

186 18 3
                                    

"Kamu cuma butuh satu alasan untuk membuatmu tersenyum dan menangis. Orang yang kamu cintai, itulah alasannya."

🥀

Meski jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, itu tak mengelakkan mereka dari antrian yang cukup panjang. Untungnya, antriannya tidak sepanjang saat mereka mengantri di wahana rumah hantu.

Keduanya segera mendudukkan diri di bangku saat bagian mereka tiba. Karena mereka duduk saling berhadap-hadapan, Aletta dapat menatap wajah Devano sepuas yang ia inginkan.

Bianglala itu mulai berputar dengan gerakan yang sangat pelan. Suara bising yang berasal dari keramain orang-orang, perlahan mulai hilang tak terdengar.

Devano menatap ke samping kanannya dengan pandangan kosong. Ia berusaha mengingat kapan terakhir kali ia menaikki wahana bianglala. Ingatan tentang kenangan-kenangannya saat ia masih bisa tertawa bersama dengan ayah dan ibunya membuatnya tersenyum tipis.

Aletta yang memang sedari tadi hanya menatap wajah Devano, menyadari bahwa cowok itu sedang tersenyum tipis. Tak mau menyia-nyiakan pemandangan yang langka, ia mengambil ponselnya dan mengambil foto Devano yang sedang tersenyum tipis.

Ia mengusap layar ponselnya yang menampilkan wajah orang yang ia cintai.

"Gue udah lama banget gak naik bianglala." Suara itu membuat Aletta segera mendongakkan kepala dan menatap orang yang tadi berbicara.

"Sama. Mungkin, terakhir kali aku ke sini dan naik bianglala waktu Papa dan Mama masih belum terlalu sibuk kerja." Gadis itu tersenyum miris.

Devano tidak menjawab. Ia hanya menatap gadis di depannya, dan disambut dengan tatapan balik dari Aletta. Dalam beberapa menit, mereka hanya menatap wajah satu sama lain.

"Ngapain lo cerita ke gue?" Suara Devano memecah keheningan.

"Gapapa. Aku gak suka mendem masalah sendiri, dan itu bukan masalah yang terlalu penting, kok.

Devano mengangguk-angguk tak peduli. "Tapi lo bener-bener gak perlu buat cerita ke gue. Dan kita gak sedeket itu buat tahu masalah masing-masing."

"It's okay. Udah telanjur juga."

"Hm."

Ketika mereka sudah mencapai di bagian paling atas, Aletta memindahkan tubuhnya. Ia mendudukan diri di sebelah Devano.

Cowok itu menatap Aletta bingung. "Ngapain pindah? Balik sana."

"Gak, ah." Aletta menyengir.

Devano mendengus. Namun, tak berkomentar lagi.

"Kak, foto, yuk? Biar kayak couple goals, gitu."

Akhirnya, Devano tahu alasan cewek itu memindahkan tubuhnya ke sebelahnya.

"Ogah."

"Ih, ayo, dong. Buat kenang-kenangan, nih."

Cowok itu mendengus lagi. "Kenang-kenangan apaan?"

"Ayo, ah. Maksa. Gak mau tau. Harus mau."

Tak peduli lagi dengan jawaban Devano, Aletta mulai mengarahkan ponselnya pada mereka dan mengambil foto dengan pemandangan ribuan kerlip lampu di belakang mereka.

HSS [1] If I CanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang