08 | Angin Lalu

457 49 0
                                    

"Aku pengen banget menghilang dari pada terus ada tapi gak pernah dipeduliin. Bahkan Kakak sama sekali gak peduli sama aku. Apa aku salah memperjuangkan orang?"

🥀


Aletta lari terburu-buru ke lapangan sekolah karena upacara sudah mulai sejak lima menit yang lalu. Ia berjalan mengendap-ngendap agar tidak ketauan. Sekarang dirinya persis seperti seorang pencuri.

Setelah memastikan tidak ketahuan, ia berdiri tegak lengkap dengan atribut sekolah. Kepalanya terangkat ke atas tepat pada bendera merah putih di naikkan.

Upacara sudah berlangsung selama empat puluh menit. Kini, kepala sekolah dengan kepala botak, sedang berdiri di depan untuk berpidato tidak jelas, yang ceramahanya sama sekali tidak masuk ke dalam otak Aletta.

Kepalanya tiba-tiba terasa berat. Pandangannya mulai kabur, tetapi ia tetap mengusahakan untuk melihat bendera itu dengan jelas.

"Let." Tara menyikut Aletta yang kebetulan berbaris di sebelahnya.

"Iya?" sahut Aletta.

"Lo gapapa? Muka lo pucet."

"Gapapa, lah. Pucet gimana? Ngak, kok."

"Serius?" tanya Tara lagi.

"Iya, gue serius."

"Yaudah deh, kalo pusing bilang, ya, jangan sampe pingsan."

Aletta menguatkan dirinya.

Ayo Aletta, jangan sampe lo terlihat lemah. Dua puluh menit lagi selesai, kok. Tahan, Let, batin Aletta.

Tak beberapa lama setelah itu, pandangannya semakin gelap, keseimbangannya juga semakin tidak terkendali, dan ia sempat merasakan sebuah tangan menopang dirinya sebelum badannya menyentuh tanah.

🥀


Regan mengangkat tubuh Aletta ala bridal style. Langkahnya membawanya ke arah UKS sekolah. Ia tersenyum kecil mengetahui Aletta ternyata satu sekolah dengannya. Kenapa selama ini ia tidak sadar? Mungkin karena Regan terlalu sering bolos dan kerjaannya tidur mulu kali, ya?


Koridor sepi, karena murid-murid masih harus berjuang di bawah matahari sambil mendengarkan ceramahan kepala sekolah yang tidak berfaedah.

"Ini anak PMR mana sih?" ucap Regan kesal karena memang tidak ada satupun anak PMR yang berjaga.

Lima menit kemudian, seorang perempuan masuk ke dalam ruang UKS dengan tergesa-gesa.

"Maaf Kak ta--"

"Iya-iya, sekarang mending lo apain ini cewek, biar bangun."

"Iya, Kak."

"Nama lo siapa?" tanya Regan.

"Tasya, Kak."

"Lain kali lebih gerak cepet. Nanti orang yang butuh bantuan anggota PMR bisa-bisa malah mati duluan gara-gara nungguin kelamaan," ucap Regan tajam.

"I-iya, Kak, maaf," jawab Tasya dengan gugup, takut menghadapi Regan yang memang sudah terkenal dengan kegalakannya.

Tasya mendekatkan kayu putih ke hidung Aletta yang masih pingsan.

"Ngh," erang Aletta menandakan dia sudah sadar.

"Udah sadar, Kak, aku permisi dulu, ya."

"Iya."

Tasya tersenyum kemudian keluar dari UKS meninggalkan mereka berdua.

"Udah sadar? Atau masih mau pingsan lagi biar bisa tidur?"

Aletta mengernyit melihat sosok di depannya, "Lo, Regan?"

"Iya. Ternyata satu sekolah kita. Padahal kemaren udah ada yang berharap gak akan ketemu sama gue lagi."

Dalam hati, Aletta mengiyakan ucapan Regan. Dikira gak akan ketemu lagi, mana udah cerita semua lagi. Kenapa Aletta bisa sampai gak tahu, ya, kalau dia satu sekolah sama Regan. Emang dia segitu kurang update-nya? "Sejak kapan lo sekolah di sini? Kok gue gak tau, lo?"

"Lo nya aja yang kampung kali," hina Regan asal.

"Enak aja. Lo nya kali yang gak terkenal."

"Kurang ajar, ya. Gini-gini gue Kakak kelas lo."

"Bodo amat."

Regan mendengus. "Lo udah tau sakit, kenapa gak izin aja, sih? Malah maksain ikut upacara."

Aletta menyengir, "Gue kan tadi telat."

"Oh, telat, ya? Terus diem-diem nyempil pas upacara, gitu?"

Aletta meringis, ketahuan deh. "Iya. Tapi jangan bilang-bilang, ya?"

"Hm." Buat apa coba, Regan bilang-bilang. Dia aja sering telat dan melakukan hal yang sama seperti Aletta.

"Nah, gitu! Tumben baik."

"Emang gue galak biasanya?!" ujar Regan sensi.

Aletta menatap Regan bingung, emang dia gak sadar kalau dia galak? "Eh? Ngak, kok. Biasanya juga baik." Dari pada di marahin lagi.

"Lo istirahat aja kalau masih sakit."

Aletta mengangguk.

"Lain kali, jangan maksain."

🥀


Aletta berjalan di koridor sekolah, pelajaran masih berlangsung sehingga area sekolah sepi.

"Aduh!" ringis Aletta ketika lantai yang licin membuatnya tersungkur ke lantai. Tadi Aletta suntuk di dalam UKS, Regan juga tadi sudah masuk kelas duluan. Sedangkan Aletta kepanasan di UKS padahal suhu AC sudah 16°c.

Aletta memilih keluar dari UKS untuk berjalan-jalan, eh, malah kepeleset. Mata Aletta berbinar ketika melihat Devano, yang sedang berjalan tidak jauh darinya dan kebetulan arah Devano pasti ke kantin sehingga melewati Aletta.

Devano meliriknya sedikit. Membuat Aletta semakin berharap kalau Devano akan menghampirinya lalu mengatakan,

"Gak apa-apa? Mana yang sakit?"

Tapi ternyata ekspetasi memang tidak pernah sesuai dengan kenyataan. Devano melewatinya dengan tampang tidak peduli. Bahkan cowok itu hanya meliriknya tidak lebih dari lima detik, seperti Aletta hanya angin lalu.

Sudah sepuluh langkah Devano melangkah dari tempat Aletta terjatuh dan Devano terus meneruskan langkahnya. Aletta tersenyum simpul, menyadari kenyataan bahwa untuk berbalik dan menolongnya pun cowok itu itu enggan. Mungkin memang salahnya yang terlalu banyak berharap.

🥀


HSS [1] If I CanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang