12 | Sebuah Rahasia

183 17 2
                                    

"Ada yang terlihat kuat di luar, tapi nyatanya rapuh. Kita tidak bisa tahu isi hati seseorang."

🥀

Setelah perjalanan yang memakan waktu selama hampir dua jam, mereka akhirnya sampai di tujuan.

Devano menoleh ke arah Aletta, kemudian menghela napas panjang ketika mendapati Aletta yang tertidur dengan posisi mulut terbuka.

"Dasar kebo," Devano mendengus.

Tanpa ada rasa kasihan sedikitpun, Devano mengguncangkan bahu Aletta kasar, "Bangun."

Tidak ada respon.

"Bangun, Aletta." Lagi-lagi tidak ada respon.

Kini, ia menatapi wajah Aletta yang sedang tertidur. Berbeda sekali saat Aletta sadar, kalau lagi tidur, wajahnya damai, tidak seperti biasanya, tidak ada damai-damainya.

Devano tidak sadar kalau dirinya sedang tersenyum kecil hanya karena menatap wajah Aletta yang sedang tertidur.

Kesal, karena Aletta tidak bangun-bangun, cowok itu menampar pelan pipi kanan cewek itu. Aletta mengerang sebentar lalu membuka matanya. Ia tersenyum mendapati wajah Devano tepat di depan wajahnya.

"Duh, gue mimpi gak sih bisa ngeliat muka Kak Vano sedeket ini," gumam Aletta yang tentu saja bisa didengar oleh Devano.

"Kebo banget, sih. Dibangunin aja susah," cibir Devano. Tentu saja panggilan itu membuat Aletta terkekeh.

"Kebo panggilan sayang buat aku, ya? Sweet banget, sih." Cewek itu tertawa lalu mencubit pipi Devano. Sejenak, Devano terdiam menatapi wajah Aletta yang sedang tertawa lepas, membiarkan tangan Aletta menyentuh bagian dari wajahnya.

Setelah beberapa detik, ia tersadar dari lamunannya. Ia menepis kasar tangan Aletta. "Jangan pegang gue."

"Galak."

"Bodo."

Cowok itu turun dari mobil, dan langsung mendapati pemandangan yang selalu membuatnya damai.

Tak lama, Aletta menyusul. Ia ikut keluar dari mobil. Dan sama seperti Devano ketika pertama kali ke tempat ini, ia tercegang.

"Bagus banget," gumam Aletta pelan.

Ia mengikuti langkah Devano. Berlari kecil berusaha mensejajarkan langkahnya dengan cowok itu.

"Kita di mana?" tanya Aletta.

"Puncak."

Aletta mengangguk pelan, "Pantes bagus."

"Sini, ikut gue."

Aletta mengikuti Devano sembari melihat-lihat pemandangan di sekitarnya dan menikmati udara segar.

"Di Jakarta, udaranya gak pernah sesegar ini." Cewek itu menghirup dalam-dalam udara segar.

Devano tidak mengucapkan apa-apa tapi diam-diam membenarkan ucapan Aletta.

Mereka akhirnya sampai di depan sebuah bangunan bertingkat dua.

"Ini apa?"

"Villa."

"Punya keluarga Kakak?"

"Ya."

Devano memencet bel villa itu beberapa kali.

Tak lama kemudian, seorang pria tampak berlari keluar dari dalam dan terpogoh-pogoh membukakan pagar villa.

"Loh, Den Kasa? Sudah lama, ya. Ayo masuk."

Aletta sudah tahu, kalau biasanya Devano dipanggil dengan nama belakangnya oleh keluarganya atau orang-orang yang sudah dekat dengannya dari lama.

HSS [1] If I CanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang