09 | Frustasi

425 54 1
                                    

"Aku gak punya banyak kata buat mencintai kamu. Karena aku kayak awan yang selalu bisu yang cuma kamu liat, tapi itu selalu buat kamu teduh dari panasnya matahari."

🥀

Dari jarak lima meter, Aletta bisa melihat Devano yang sedang berjalan. Ketika jarak sudah dekat, Aletta menyengir. "Pagi Kak! Sayang banget aku lupa bawain sarapan, padahal Kak Vano pasti belum makan, kan?" tebaknya sok tahu.

"Sok tau," sahut Devano melanjutkan langkahnya. Sedangkan Aletta tidak tinggal diam, ia mengikuti Devano sambil mengoceh.

"Kemaren jahat banget, sih, gak nolongin aku."

"Aku sakit hati, tau."

"Kacangin aja, terus. Untung sayang."

Aletta terus mengoceh hingga Devano menghentikan langkahnya, membuat cewek itu menabrak punggungnya.

"Aduh, sakit. Kenapa sih berhenti tiba-tiba, bilang dulu kek, sakit kan," sungutnya sembari memegang jidatnya yang terasa sakit.

Ia membalikkan tubuhnya hingga menghadap Aletta. "Bawel, lo. Pergi, sana."

"Galak banget, sih."

Devano melanjutkan langkahnya, sedangkan Aletta masih mengikuti dirinya. Aletta baru mengernyit kebingungan ketika langkah kaki cowok ini tanpa arah.

"Mau ke mana, sih? Kok tanpa arah gini, kayak cinta aku ke Kakak, tanpa arah." Aletta angkat bicara.

Saat sudah hampir sampai di pojokan lorong yang gelap, Devano menarik tangan Aletta kemudian menyudutkannya ke tembok, membuat punggung Aletta terbentur.

Aletta meringis.

Devano mengunci badan Aletta agar tidak bisa ke mana-mana, dan jarak wajah mereka sangat dekat.

Aletta berusaha menetralkan detak jantungnya yang tidak karuan, berbeda dengan Devano yang malah menyeringai.

"Lo tau, kan, di sini sepi, gak ada orang, dan harusnya lo tau kan apa yang biasanya bakal terjadi di keadaan kayak gini?"

Bukannya takut, yang diancam malah tersenyum, memamerkan gigi putihnya, "Di apa-apain? Aku ikhlas kok di apa-apain, asal sama Kakak."

"Dasar gila!" ujar Devano kesal. Untuk kesekian kalinya, ia gagal membuat cewek itu menjauhinya.

🥀


Devano mengacak-ngacak rambutnya frustasi, lagi-lagi ia gagal membuat perempuan itu menjauh darinya.

"Frustasi ya? Gak bisa buat Aletta jauh dari lo?" tebak Genta.

Devano yang baru saja masuk ke kamarnya, langsung terkejut menyadari kehadiran sahabatnya.

"Lo ngapain di sini?" tanya Devano bingung.

"Main, lah."

"Gue gak punya mainan."

Ia melempar tasnya asal, mengenai kepala Genta.

"Shit! Sakit." Genta mendengus.

"Mampus."

Genta menatap Devano yang sedang melepas seragamnya, menyisakan kaos hitam yang melekat di tubuhnya.

"Gue tau, gue ganteng. Gak usah diliatin."

"Dih, pede." Genta menyahuti, merasa jijik dengan ucapan Devano yang kelewat percaya diri.

"Lo ngapain sih di sini?" tanya Devano lagi.

"Numpang mandi."

"Bego."

"Elo, kan?"

"Lo."

"Terserah." Genta mengalah.

Karena mereka sudah dekat sejak lama, Genta sering kali pergi ke rumah Devano dan tiba-tiba saja sudah ada di kamar cowok itu. Alasannya untuk bermain atau menginap.

Genta melempar badannya ke kasur  king size Devano. Mereka sama-sama terdiam.

"Udah gue bilang, coba buka hati lo buat Aletta. Walaupun gue gak terlalu deket sama dia, tapi gue tau kalau dia bukan orang yang gampang menyerah. Percuma mau lo berusaha kayak apapun buat ngejauhin dia dari lo, gak akan bisa. Percaya sama gue."

"Hm."

"Mau sampai kapan nutup hati lo terus?"

"Selamanya, mungkin?"

"Lo gak bisa jadiin masa lalu lo sebagai alesan buat gak buka hati lo." Genta mulai kesal dengan sikap Devano.

"Hm."

"Gue aja gak yakin masih punya perasaan atau gak." Devano tersenyum simpul.

"Ya makanya, jangan biarin perasaan lo mati buat selamanya. Kasih Aletta kesempatan. Emang susah buat kasih dia kesempatan?"

Devano terdiam, memilih tidak menjawab ucapan sahabatnya.

"Pikirin lagi baik-baik." Kalimat terakhir yang diucapkan Genta, membuat percakapan di antara mereka berhenti.

🥀


Untuk kesekian kalinya, Aletta kembali telat. Ia mendengus kesal sebelum akhirnya ia membersihkan lapangan. Tapi tak lama, matanya berbinar ketika melihat Devano sedang berada di lapangan basket.

Aletta baru ingat. Hari ini, pelajaran pertama Devano adalah olahraga.

Saat awal-awal menyukai Devano, Aletta seringkali sengaja terlambat datang ke sekolah hanya untuk di hukum di lapangan. Tujuannya untuk melihat Devano. Dan untungnya selama dua tahun berturut-turut, kelas Devano selalu olahraga di jam pertama.

Saking seriusnya melihat Devano bermain basket, ia sampai tidak sadar bahwa Pak Budi, alias guru fisika yang kebetulan menjadi guru piket hari ini, sudah berada di sebelahnya, menatap tajam dirinya.

"ALETTA! KAMU LIATIN SIAPA, HAH?!"

Aletta meringis mendengar suara Pak Budi yang membuat telinganya berdengung. Gadis itu hanya bisa berdoa untuk telinganya sekarang. Ia masih ingin bisa mendengar.

"Liatin cogan lah, Pak. Liatin siapa lagi coba. Masa liatin Bapak yang gak ada ganteng-gantengnya."

"Enak saja kamu, saya gini-gini cakep dan masih muda tau, masih umur---"

"41 tahun dan perjaka tua?" tebak Aletta memutuskan ucapan gurunya. Mulutnya yang memang asal tiap mengucapkan sesuatu mengundang tatapan tajam dari gurunya itu.

"Apa kamu bilang? Saya? Perjaka tua?"

"Fakta Pak, mungkin Bapak memang ditakdirkan untuk seperti itu. Yang sabar ya, Pak. Saya yakin, suatu saat nanti Tuhan akan berkehendak. Saya mau jalanin tugas lagi, dadah Pak Budi ganteng."

Aletta berjalan meninggalkan Pak Budi yang menatapnya seperti melihat jin yang menyamar menjadi manusia. Tapi Aletta cukup setuju dengan itu kalau ada yang mengangapnya seperti jin, karena dirinya memang penuh dengan keajaiban.

🥀


HSS [1] If I CanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang