05 | Ada Saatnya

494 54 1
                                    

"Ada saatnya lo berjuang dan ada saatnya lo menyerah. Lo boleh menyerah saat lo udah cape buat berjuang. Karena ga semua orang bisa bertahan. Mereka bakal menyerah disaat mereka udah lelah."

🥀

Devano berjalan di koridor sekolah yang ramai, untuk kali ini cowok itu tidak telat. Wajah datarnya sangat menampakkan bahwa ia tidak peduli dengan sekitarnya.

"Kak Devano ganteng banget sih pagi-pagi begini."

"Gila, gila, masih pagi tapi udah bisa cuci mata gue."

"Jadi pengen masukin karung terus bawa ke kamar, deh."

"Mau mukanya kayak triplek juga tetep ganteng, gimana kalau senyum coba."

Devano tetap melangkah menuju kelasnya di lantai tiga. Baru saja ia berjalan satu langkah dari pintu masuk XII IPA II, telinganya sudah mendengar teriakan teman-temannya yang super absurd itu.

"WOY DUGONG, SINI LO!" teriak Arief.

Devano menaikkan satu alisnya, "Apa?"

"Cek laci lo."

Dengan dahi yang mengkerut, Devano menaruh tasnya sembarangan lalu mengecek lacinya. Tangannya mengambil sebuah kotak bekal serta surat di atasnya yang menampilkan tulisan yang bahkan sudah dihafal oleh cowok itu.

Good morning Kak Vano! Pasti belum sarapan kan? Nanti sakit, lho. Nih aku bekalin roti. Enak kok. Jangan lupa di makan ya. Dan semangat belajarnya, Kak! -Aletta R

Devano menghela nafasnya lagi karena perbuatan Aletta. Setiap hari tanpa absen, selalu saja ia diganggu oleh makhluk itu.

"Pasti bekal dari Aletta kan? Lo gak bakal mau makan kan? Buat gue aja," tebak Rian.

"Keenakan lo jadi orang." Arief mencebik.

"Kayak lo ngak aja," balas Rian.

"Gak, mau gue balikin ke orangnya," sahut Devano kesal.

Ia langsung melangkahkan kakinya ke kelas Aletta membawa kotak bekal juga suratnya. Mata tajamnya mencari sosok Aletta.

"Aletta mana?" tanya Devano datar ke salah satu murid perempuan yang berdiri di pinggir kelas.

"Ga-gatau Kak, tapi tadi kayak ke taman belakang."

Tanpa mengucapkan terima kasih sedikitpun, Devano mengarahkan langkahnya ke taman belakang. Dari belakang, ia bisa melihat sosok Aletta yang entah sedang apa. Ia berjalan menghampiri Aletta. Dari samping, barulah terlihat Aletta sedang menggambar.

"Aletta!"

Suara tegas itu membuat Aletta mendongakan wajahnya kemudian tersenyum lebar. Ia menaruh gambarnya di kursi dengan posisi terbalik lalu berdiri.

"Gimana Kak, enak--"

Ucapannya terhenti ketika Devano melempar sebuah kotak bekal ke arahnya.

"Denger baik-baik ya, Aletta. Berhenti sok peduli sama gue. Kehadiran lo itu ngeganggu gue! Ngerti?" bentak Devano.

Ini adalah kedua kalinya Devano membentak dirinya.

"Ini--" Devano menggenggam surat yang Aletta beri, "Gue gak butuh ucapan semangat dari lo. Yang gue butuhin, lo menjauh dari gue." Devano merobek surat itu, lalu menjatuhkan ke rerumputan taman.

Setelah mengucapkan kalimat kasar yang mampu membuat hati Aletta terluka dalam sekejap, ia melangkah pergi meninggalkan Aletta yang sudah berkaca-kaca.

Tidak bisa ditahan, air matanya mengalir begitu saja. Ia terduduk lemah di rerumputan, "Aku lebih baik kesakitan karena penyakit ini, dari pada ngeliat sosok Kakak yang membenci aku."

🥀

Aletta berbaring di kasur Tara, menenggelamkan wajahnya ke bantal.

"Tara," panggil Aletta lemah.

"Apan?"

"Gue sakit."

"Hah? Sakit apa? Dari kapan? Parah, gak?" tanya Tara panik duluan.

"Sakit hati."

"Anjir, lo."

Aletta terkekeh, "Serius, gue lagi sakit."

"Makhluk kayak lo bisa sakit juga ya, gue kira khusus makhluk kayak lo, gak bisa sakit."

Aletta menabok bahu Tara sembari tertawa. Dalam hati, ia mengaminkan ucapan Tara yang seharusnya makhluk sepertinya mendapat pengecualian agar tidak bisa sakit.

"Sakit, kebiasaan deh, mukul-mukul," protes Tara kesal karena Aletta yang tiba-tiba memang suka menjadikannya samsak.

"Bodo."

"So? Gue yakin lo mau curhat tentang Vano lagi, kan?" tebak Tara yang langsung diiyakan oleh Aletta.

"Lo cenayang, ya?"

"Bukan cenayang juga, semua orang tau kalo setiap lo sakit hati selalu karena Devano."

"Ish."

"Apa?"

"Tiap lo ngomong, bener terus. Kesel gue. Cocok lo jadi cenayang."

Tara tertawa geli. Ia merubah posisinya menjadi duduk, menghadap ke arah Aletta dan menatap cewek itu dengan serius.

"Nih, ya, Let, gue kasih tau. Ada saatnya lo berjuang dan ada saatnya lo menyerah. Lo boleh menyerah saat lo udah cape buat berjuang. Karena ga semua orang bisa bertahan. Mereka bakal menyerah di saat mereka udah lelah. Saat berjuang, mereka mungkin emang gak mengenal rasa lelah, tapi dalam lubuk hati mereka yang paling dalam, mereka cape, cape untuk bertahan. Lo bisa menyerah kapan aja lo mau, Let."

Tara menghela napas panjang, sebelum melanjutkan kata-katanya. "Lo terlalu kuat Aletta, bahkan lo adalah cewek terkuat yang pernah gue kenal. Kalo gue jadi lo, gue mungkin bakal nyerah. Cuma cowok brengsek yang sia-siain lo, Let."

Aletta tersenyum kemudian memeluk Tara. "Thankyou, Tar. Lo pokoknya sahabat gue yang paling best. Gue sayang banget sama lo," ujar Aletta tulus. Benar-benar tulus.

Tara membalas pelukan Aletta. "Gue juga."

Tara tersenyum senang melihat Aletta yang seperti ini. Ia tahu, Aletta punya banyak hal yang disembunyikan dibalik kelakuannya yang ajaib. Dan sebagai sahabatnya, Tara berharap Aletta menemukan sosok yang benar-benar sayang padanya dan orang itu bukan Devano.

Bukannya membenci Devano, hanya saja ia tidak terlalu suka dengan cowok itu. Menurutnya, cowok itu tidak tahu cara untuk menghargai perempuan. Meskipun dia adalah sahabat pacarnya, tapi Devano sudah banyak melukai Aletta dan pelan-pelan merenggut kebahagiaan Aletta. Dan sebagai seorang sahabat, Tara benar-benar tidak rela akan hal itu.

🥀

HSS [1] If I CanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang