The Immortal Love

15.3K 335 3
                                    

=======

    “Kalian sedang apa, sih?” tanya Caitlin pada kedua sahabatnya—Megan Nicole dan Weronika Mamot—.

    “Kami sedang melihat film breaking dawn part 2 yang baru saja keluar...” jawab Megan berbinar.

    Caitlin berdecak. “Ck!! Film seperti itu kalian tonton? Mana ada vampire yang bisa hidup di siang hari?” tanya Caitlin kesal.

    Wero memberengut. “Isshh... kau ini. Kan seru jika saja vampire itu benar-benar ada...” sungut Wero.

    “Huh!! Kalian terlalu berlebihan. Mendramatisir keadaan,” decak Cailtin.

    Megan berjalan mendekati Caitlin. “Caitlin... jika saja vampire memang benar-benar ada, apa yang akan kau lakukan?” tanya Megan.

    Caitlin memicingkan mata menatap Megan—sahabatnya. “Oh... ayolah, Megan... kau terlalu serius menghayati film itu...” desah Caitlin frustasi.

    “Eh, aku setuju dengan Megan. Apa yang akan lakukan jika vampire memang benar-benar ada, Caitlin?” tanya Wero mengulang pertanyaan Megan.

    “Fine!! Mungkin aku akan memacari salah satu di antara mereka jika salah satu di antara mereka ada yang laki-laki,” ucap Caitlin cuek sambil menyumpal telinganya dengan earphone.

    “Kau serius, Caitlin? huh! Semoga itu benar-benar terjadi,” decak Megan yang tidak di gubris oleh Caitlin.

    Caitlin hanya menjulurkan lidah pada kedua sahabatnya itu dan kembali larut pada earphone miliknya.

    ***

   Caitlin baru saja bangun dari tidur siangnya tadi. Ia berjalan gontai menuju ruang makan yang berada di lantai dasar rumahnya.

    “Hello, Mom…” sapa Caitlin dengan suara parau.

    Mrs. Sone berdecak melihat tingkah putrinya yang satu ini. Sungguh malas dan kekanak-kanakan. Berbeda dengan adiknya, Carly Rose Soneclar yang bisa lebih bersikap dewasa di banding Caitlin.

    “Caitlin… jangan sentuh makan malam jika kau belum mandi…” tegas Mrs. Sone.

    Caitlin berdecak sebal. “Ayolah, Mom… aku lapar…” rajuk Caitlin mencomot roti panggang yang berada di atas piring.

    “CAITLIN…” geram Mrs. Sone.

    Dengan terpaksa, Caitlin kembali meletakkan roti panggang itu di atas piring semula.

    “Iya… iya, Mom… aku mandi dulu…” jawab Caitlin malas dan kembali melangkah menaiki tangga menuju kamarnya.

    ***

    “Malam adik kecil…” sapa Caitlin mengacak asal rambut bergelombang milik Carly—adiknya.

    Carly mendengus tertahan. “Isshh… jangan sentuh rambutku…”

    “Huh kau ini… rambut jelek begitu saja di banggakan…” ejek Caitlin.

    “Rambutku lebih baik daripada rambutmu yang berwarna coklat itu…” ketus Carly.

    Caitlin memutar bola matanya jengah. Dia tak akan melawan lagi jika sudah ada yang menyinggung tentang rambutnya. Ya, memang di antara semua anggota keluarga hanya rambut milik Caitlin-lah yang berwarna coklat. Sedangkan yang lain lebih mendominasi kehitaman.

    “Dasar adik durhaka…” cibir Caitlin.

    “Apa?” Tanya Carly dengan wajah garangnya.

    Caitlin mengabaikan pertanyaan Carly dan lebih memilih untuk berjalan menghampiri Mom nya yang sedang sibuk mempersiapkan makan malam.

    “Hay, Mom… ada yang bisa ku bantu?” tawar Caitlin.

    Mrs. Sone mengangguk. “Bawa makanan ini ke meja makan. Tata juga di meja makan,” suruh Mrs. Sone.

    “Okay, Mom…” jawab Caitlin riang dan mulai melakukan apa yang sudah di perintah mom nya.

    Setelah semua tertata rapi di meja makan.Caitlin  dan keluarganya segera menyantap hidangan makan malam yang terhidang dengan suasana yang harmonis juga di selingi dengan canda tawa.

    ***

    Cailtin duduk di balkon kamarnya sambil menengadah menatap kanvas jagad raya yang hitam. Tak ada satupun bintang malam ini. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 11 malam. Namun, tak membuat Caitlin beranjak dari balkon kamarnya.

    Angin malam yang dingin berhembus kencang menerpa wajah cantik Caitlin pun tak mampu membuat Caitlin beranjak. Dia masih setia duduk di balkon kamarnya.

    Mengerikan. Batin Caitlin melihat pemandangan kota New York di malam hari dari balkon kamarnya. Mirip kota mati. Batin Caitlin lagi.

    Caitlin melirik jam dinding di kamarnya. Jam 11.11 malam. Caitlin menarik sudut bibirnya menjadi sebuah lengkungan kecil senyum. Dia segera memejamkan matanya dan membuat permohonan.

    “Aku berharap bisa menemukan seseorang yang aku cintai. Siapa pun dia.” Ucap Caitlin dalam batinnya.

    Caitlin membuka matanya dan segera turun berjalan masuk menuju kamarnya. Caitlin segera membaringkan tubuhnya di atas ranjang dan mulai memejamkan matanya. Dia sangat mengantuk sekarang.

    Sepasang mata yang berwarna merah menyala mengawasi balkon kamar Caitlin dari atas pohon yang tak jauh dari rumah Caitlin. Dia tersenyum sinis mendengar permohonan Caitlin.

    Dengan cepat dia pergi dari tempatnya dengan melompat dari satu pohon ke pohon lainnya dengan sangat cepat. Mengalahkan kecepatan tupai maupun seekor burung elang yang terbang. Tubuhnya mulai hilang di telan kegelapan kota New York malam itu.

    ***

    “Kau tak bisa lari…” suara itu menggema dalam telinga Caitlin yang masih terus berlari.

    “Kau tak bisa sembunyi. Aku akan selalu menemukanmu…”

    “Aaaa… pergi!! Jangan ganggu aku!!” pekik Caitlin yang masih berlari tanpa arah di sebuah lorong hitam tanpa ujung.

    “Kau yang memintaku untuk datang. Aku tak akan pergi…” balas suara itu. “Kau terikat denganku. Kau tak bisa lari…”

    Caitlin jatuh tersungkur di lantai hitam lorong itu. Dia meringis sakit mendapati lututnya sedikit tergores lantai hingga mengeluarkan darah. Caitlin memberanikan diri menoleh ke belakang.

    Terlihat sepasang mata berwarna merah menyala yang mendekatinya. Caitlin tersentak reflek menjerit ketika mata berwarna merah itu sudah berada di depannya.

    “AAAAAAAAAAAAA…………”

    “Heh bangun… kenapa kau berteriak-teriak begitu?” ketus Carly yang sudah berada di kamar Caitlin.

    Napas Caitlin memburu. Peluhnya bercucuran di dahinya. Dia melirik ke arah Carly yang berdiri di samping ranjangnya dengan tangan yang terlipat di depan dada. Cuma mimpi. Batin Caitlin bernapas lega.

    “Bangun pemalas!! Sudah siang. Apa kau tidak sekolah, ha?” tanya Carly ketus.

    Mungkin Carly terganggu dengan jeritan Caitlin ketika tidur tadi. Dan membuatnya menjadi ketus pada Caitlin karena kesal.

    “iya… iya. Bawel!!” sewot Caitlin.

    “Bagus!! Cepat turun! Aku tak mau terlambat ke sekolah hanya karenamu yang pemalas!!” ucap Carly berbalik keluar kamar Caitlin.

    Caitlin mendengus kesal. Jika saja anak ini bukan adiknya, dia bersumpah sudah akan membuang anak itu ke kutub utara karena tingkahnya yang sok berkuasa dan super menyebalkan.

    *** 

The Immortal LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang