03. The Prince Charming (1)

128K 12.2K 1.2K
                                    

Arkasa Sean Hadinata, mahasiswa kedokteran yang lumayan dikenal, meskipun tidak semua orang di kampus tahu dia karena yang namanya 'semua' itu hanya ada dalam soal logika matematika. Jangankan Arka yang hanya mahasiswa biasa, beberapa orang di kampus saja kadang tidak tahu siapa Rektor mereka. Tapi, kalau sudah masuk ke Fakultas Kedokteran, nama cowok ini sering muncul di mading fakultas, baik tercetak dalam brosur seminar, mahasiswa berprestasi ataupun lomba-lomba yang diadakan FK karena dia menjadi ketua panitia.

Sesekali namanya juga sering disebut seangkatan, junior ataupun senior karena kelakuan positifnya dan tampangnya yang enak dipandang. Cowok itu bahkan kerap-kali dijuluki Pangeran oleh mereka karena aura dan pembawaannya seperti berasal dari negeri dongeng. Arka bukan dikenal hanya karena dia aktif organisasi, cowok ini juga termasuk mahasiswa berprestasi.

Dulu, sebelum pacaran, Natella bahkan kaget banget waktu dengar kalau index prestasi Arka waktu semester satu mencapai angka empat.

"Gila lo, kok bisa sih dapet IP segitu? Gimana caranya? Matkul kedokteran kan susah banget, teman seangkatan gue yang Fisip aja kagak ada yang IP 4." Natella berbicara kayak hal itu nyaris mustahil dicapai oleh seseorang, apalagi oleh cowok yang santai tidak terlihat ambisius seperti Arka. Natella pikir, Arka kayak cowok baik-baik kebanyakkan dengan IP seadanya. Atau berita yang dia dengar dari teman SMA-nya yang sejurusan dengan Arka itu hanya omong kosong belaka.

"Belajar." Jawabnya tidak menyangkal. "Nggak ada yang instan di dunia ini."

Iya juga, sih. Memangnya siapa yang bisa dapat nilai sempurna tapi kerjaannya cuma tidur-tiduran di kelas dan sering bolos? Secerdas-cerdasnya otak manusia juga harus kenalan dulu sama materi baru bisa memahami.

Sewaktu pacaran sama Arka, barulah Natella sadar kalau Arka belajarnya bisa segila cuma tidur dua jam ketika masa ujian blok. Hari libur kadang juga dipakai buat belajar. Boro-boro jalan berdua sama Natella, chatting-an atau teleponan saja nyaris tidak sempat.

"Setahu aku, manusia tuh belajar ada limitnya. Tapi, kok kamu sanggup sih belajar unlimited begini?" Keluh Natella antara kesal dan kasihan. Kesal karena Arka tidak punya waktu buat dia dan kasihan, pacarnya belajar sampai tidak tidur semalaman. "Atau seenggaknya, berhenti kek ikut organisasi-organisasi-an. Kamu tuh udah kebanyakkan kerjaan, tahu nggak?"

Enam bulan pertama pacaran, hal-hal seperti ini menjadi alasan paling sering mereka marahan, Natella marah ke Arka lebih tepatnya. Malahan setelah dimarah-marahi, Arka tetap tidak peduli, juga tidak menyisakan waktu untuk Natella. Dalam kamus kehidupan Arka, Natella tidak pernah menjadi prioritas nomor satu. Makanya ada titik dimana Natella merasa capek sendiri.

"Kenapa sih lo harus belajar segila ini? Tiap diajak jalan, alesannya mau belajar mulu! Angka index prestasi juga gabakal menjamin masa depan lo bagus!" Natella selalu merasa Arka sengaja mengabaikannya, sengaja mencampakkannya, sengaja tidak memedulikannya.

Butuh enam bulan untuk Arka mau buka mulut, cowok itu memberinya alasan yang akhirnya bisa membuat Natella mengerti. Mengerti kalau beberapa orang seumuran mereka memiliki beban dan tanggung jawab yang lebih besar dari sekedar berlovey-dovey ria sama pacar.

"Kalau IP gue dibawah 3.5, bokap gamau ngasih duit buat kuliah gue lagi. Itu perjanjiannya, Nat."

"Tinggal cari beasiswa." Balas cewek itu mengentengkan. "Lo kan pinter."

"Ga segampang itu." Arka membalas pakai nada suaranya yang tenang, kontras dengan Natella yang meledakkan emosinya.

"Bokap gapernah setuju gue masuk kedokteran."

"Terus, kenapa lo masuk kedokteran? Durhaka banget sih jadi anak!"

"Karena gue mau." Ucapnya kalem. "Dan kalau gue mau, gue harus perjuangin gimanapun caranya dan apapun konsekuensinya."

Super Psycho LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang