Sederhana tapi menarik, itu adalah kalimat singkat yang pas untuk mendeskripsikan Mentari Adrianni. Tidak seperti gadis seusianya yang begitu memusingkan soal trend fashion, make up, rambut atau laki-laki, Mentari lebih memilih fokus pada cita-citanya untuk menjadi dokter yang baik. Dokter yang punya attitude, skill and knowledge.
Dia tidak hanya punya passion dan cerdas, wajahnya juga ayu dan sifatnya yang supel semakin memperkuat alasan kenapa banyak kaum adam berlomba-lomba untuk merebut hati seorang Mentari Adrianni sejak kali pertama memandangnya.
"Adik kelas gue dulu tuh, juara umum terus. Kayak namanya, Mentari itu beneran Matahari. Bisa menerangkan kehidupan gue yang gelap gulita"
"Bener-bener calon istri idaman."
"Sayang... kapan gue dipanggil sayang sama dik Mentari?"
"Cakep banget sih, bikin adem. Jadi ingin menghalalkan."
"Kerjain ah, siapa tau dia jadi baper juga sama gue."
"Ya anjing, kalau saingan gue Arka mending mundur."Itu adalah sepenggal percakapan sebagian cowok-cowok yang menjadi pengagum Mentari Adrianni waktu zaman ospek. Mereka sudah memperhatikn cewek itu sejak technical meeting ospek Fakultas. Tidak seperti mereka yang selalu melihat ke arah Mentari, Mentari malah melihat ke arah lain, Arka. Entah kebetulan, atau sengaja.
Dimulai dari hal-hal tidak penting seperti banyaknya panitia yang berdiri disekitar tempat duduk Mentari dan teman-teman barunya, cewek itu malah memilih memanggil Arka yang berdiri cukup jauh, si kakak ganteng yang punya tampang sengak setengah mampus, untuk meminta penjelasan mengenai apa yang sedari tadi dia dan teman-temannya belum mengerti.
Setelah sesi tanya jawab singkat Mentari ke Arka selesai, Lisa, cewek yang duduk disebelah Mentari langsung berbisik ke cewek itu, "Kok lo berani banget manggil dia, Tar? Yang kayak begitu pasti tatib songong yang suka marah-marah gajelas."
"Kayaknya dia baik?" Mentari ikut berbicara dengan nada pelan.
"Baik atau ganteng, Tar?" sambung Nadine menggodanya.
"Baik doang kok." Mentari mengatakan dengan nada pelan, takut dimarahin senior yang merasa terganggu karena ketua panitia masih komat-kamit di depan.
"Tapi ganteng banget juga, kan?"
"Biasa aja."Nadine memberikan decakkan mengejeknya. Munafik banget kalau ada yang bilang cowok dengan tinggi 180 ke atas itu biasa saja ketika tampangnya bisa mengalahkan member boyband-boyband Korea yang semakin hits di kalangan anak muda zaman sekarang. Atau mungkin juga karena Mentari sudah terbiasa dikelilingi cowok ganteng, makanya yang kayak Arka hanya masuk dalam kategori biasa di matanya.
"Biasa aja-biasa aja, ntar naksir baru tahu rasa lo."
Mentari hanya senyum simpul mendengarkan sumpahan Nadine, pembicaraan kayak begini tidak akan ada usainya. Jadi, dia memutuskan untuk mendengar arahan dari kakak-kakak panitia mengenai ospek mereka dibanding membicarakan hal-hal tidak bermanfaat seperti barusan.
*
Arka itu gantengnya memang kadang tidak manusiawi, wajar kalau banyak Maba terutama yang suka cowok sudah memperhatikannya sejak TM yang diadakan sehari sebelum kegiatan ospek berlangsung. Kebanyakkan mereka percaya kalau Arka pasti mainnya di tata tertib, mengingat bagaimana sengak dan dinginnya tampang dia waktu TM dan juga hari ini, saat ospek berlangsung.
Sayangnya, bukan bentakan-bentakan jahat yang bikin kuping dan hati sakit yang diberikan cowok itu ketika berada di lapangan dan mengelilingi barisan Maba, melainkan pertanyaan serta pernyataan khawatir seperti:
"Ada yang merasa gaenak badan?"
"Muka kamu pucat, masih kuat berdiri?"
"Kalau ada yang sakit bilang sama saya, ya."Dan sebagainya yang bikin dedek-dedek jadi pengen mendadak sakit. Sial, udah tampang kayak malaikat, perannya juga benar-benar malaikat. Siapa coba yang nggak tiba-tiba pusing melihat cowok itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Super Psycho Love
Novela Juvenil"Percaya deh. Bukan gue yang gila, tapi cowok gue."