Gita berulang kali mengganti chanel TV namun tidak ada acara yang dirasa pas. Ia melirik ke arah pintu belum ada tanda-tanda benda mati itu akan terkuak. Suaminya masih betah di ruang kerja.
Adara? Siapa Adara?
Lagi-lagi batinnya menggumamkan nama itu. Namun, tiap kesempatan berdua dengan Abdi lidahnya kelu hendak menanyakan atau membiarkannya seperti angin lalu. Belum ada satu bulan usia pernikahan. Pikiran buruk langsung hinggap dikepalanya, atau memang seperti ini pernikahan, yang tampak diluar bukanlah yang sesungguhnya.
Meskipun ia tak ingin namun Gita selalu membanding-bandingkan dengan apa yang terjadi dikeluarganya, dulu. Itulah sebabnya ia tak boleh mempercayai Abdi seutuhnya, pria yang tampak sangat baik sekalipun mungkin saja bisa – berdusta.
Mungkin ia harus mencari tahu sendiri. Gita turun dari ranjangnya dan mulai memeriksa laci yang ada di kamarnya, dalam hatinya setidaknya ia tahu seperti apa Abdi sesungguhnya, baik dan buruknya ia harus tahu. Tak menemukan apapun disana Gita beralih ke walk in closet meski kelihatannya mustahil tapi siapa tahu?
Setengah jam berkutat dan tak menemukan apapun. Gita menghela napas panjang. Mungkin tidak di rumah ini, batinnya. Bukankah sebelum menikah Abdi tinggal di rumah orang tuanya. Otaknya kembali berputar. Dompet dan ponsel. Jika memang ada sesuatu ia Abdi pasti tidak akan mengizinkannya menyentuh benda paling pribadinya itu.
Keluar dari walk in closet, Gita berpikir bagaimana cara yang pas meminjam ponsel Abdi, atau ia lakukan secara sembunyi-sembunyi saja?
Suara handle pintu langsung mengarahkan pandangan Gita. Sosok Abdi muncul dari sana. Gita menghiasi wajahnya dengan senyuman dan melangkah mendekat. "Lama banget?"
Abdi mengecup kening Gita singkat lalu beralih ke kamar mandi. Gita sudah ada di atas ranjang sambil menunggu Abdi keluar dari kamar mandi. Selang beberapa menit Abdi sudah bergabung dengan Gita. Ia paling suka mengecup kening istrinya itu. Entah tapi sekarang ia merasa itu seperti hobinya.
"Mas."
"Hmm."
"Boleh pinjem hp nya nggak?"
Ada lipatan kecil di kening Abdi namun ia tetap menyerahkan ponsel yang tadinya hendak ia taruh di atas meja nakas.
"Mau liat apa? Hp Mas nggak ada isinya, paling cuma video operasi," ujar Abdi membuka kunci ponsel dengan sidik jari tangannya.
Gita meraih ponsel Abdi. "Sosial media, Mas nggak punya?"
Abdi menggeleng.
"Kenapa?"
"Males aja."
Gita merasakan lembutnya tangan Abdi yang mengelus kepalanya, pandangannya memang tak lepas dari layar ponsel. Dugaan Gita ponsel ini hanya digunakan untuk mengirim pesan dan melakukan panggilan saja, tema ponselnya saja masih tema standar.
"Mas juga jarang dengar lagu?"
"Kok tanya sih, kan kamu tahu Mas selalu dengar lagu di ruang kerja."
Gita berdecak, "Maksudnya dari hp bukan dari komputer Mas. Ini, sayang banget, iPhone 7 cuma dipake buat nelpon sama SMS doang."
"Itu Adel yang milih. Mas tinggal pake aja."
"Oh..." Gita melirik ke Abdi sekilas dan beralih ke kotak pesan. "Penasaran siapa sih yang di SMS-in sama Dokter Abdi."
Tawa Abdi hampir meledak melihat ekspresi kusut istrinya. Hanya ada nama Gita, Mama, dan Adel dan beberapa dari operator yang memenuhi inbox ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not The Wrong Choice [TERBIT]
General FictionMereka tidak menjalani sebuah keterpaksaan. Mereka hanya jiwa-jiwa lelah. Cukup dengan kesepakatan kecil maka jalinan sebagai pasangan sah pun menaut. Sekuel Revenge