Begitu turun dari mobil Abdi langsung disambut dengan senyum merekah milik Tante Winda. Ia memutuskan untuk menemui Tante Winda, setelah kejadian semalam yang masih meraungi benaknya. Sementara Gita sendiri masih bungkam. Abdi tidak berusaha untuk memaksanya bercerita lebih jauh, sebab ia juga memiliki pengalaman yang sedikit banyaknya sama, disaat ada hal pahit yang terjadi dalam hidup kita, maka hal itu akan sulit untuk diceritakan kepada orang lain, sekalipun itu adalah orang terdekatnya, Abdi percaya Gita hanya butuh waktu untuk membuka semua cerita masa lalunya.
"Lho, nggak sama Gita?"
Abdi menggeleng. "Gita ke butik ada janji sama Mama."
Air muka Tante Winda agak berubah, menangkap sesuatu yang lain disana. Pasalnya tak biasanya Abdi datang seorang diri ke rumahnya. "Oh," gumamnya. "Ayo masuk, Abdi."
Abdi mengangguk seraya melengkungkan senyumnya, ia duduk dengan sopan di kursi ruang tamu setelah dipersilakan. Tante Winda pun segera beranjak ke belakang hendak membuat minuman untuk Abdi.
Tak lama berselang, Tante Winda datang dengan nampan ditangannya. Ia meletakkan secangkir teh tepat dimeja di depan Abdi.
"Ada hal penting ya? Sampai-sampai Abdi harus repot jumpain Tante," ujar Winda membuka suara, dari nada bicaranya terdengar sedikit cemas.
"Sebenarnya Abdi kemari karena ada hal yang ingin ditanyakan."
Kening Tante Winda berkerut. "Tentang apa? Gita membuat masalah?" tanyanya mulai khawatir.
Abdi menggeleng.
"Terus?"
"Kemarin harusnya kami menginap di rumah Papa Gita, tapi nggak lama setelah makan malam, Gita yang tadinya bersama Mama Niken didapur terlihat histeris dan mengajak Abdi pulang saat itu juga. Abdi nggak tahu yang sebenarnya terjadi, waktu Abdi berusaha menanyakan ke Gita, ia seperti selalu mengalihkan pembicaraan. Abdi cuma pengin tahu, apa yang sebenarnya terjadi antara Mama Niken dan Gita, dulu."
Winda menghela napas panjang. "Sebetulnya Tante malas untuk mengingatnya lagi. Tetapi sebagai suami Gita, kamu memang berhak tahu Abdi."
Tatapan Abdi sama sekali tak teralih dari Tante Winda.
"Meskipun Niken dan Papa Gita menikah setelah Mamanya meninggal. Gita tetap menganggap Niken adalah perusak hubungan kedua orang tuanya. Hubungan mereka nggak pernah akur, meski nggak sampai saling pukul. Gita memang nggak salah, wajar ia berpikir seperti itu karena memang itulah yang sebenarnya terjadi."
Winda mengambil napas sebelum melanjutkan. "Dulu, suatu waktu Maya, Mamanya Gita datang ke Tante, dia minta Tante temenin ke seorang pengacara, otomatis Tante terkejut, Tante tanya kenapa? Maya bilang dia mau cerai. Tentu aja Tante syok, karena yang selama itu Tante lihat hubungan Maya dan Rifai tampak baik-baik aja, bahkan Tante sering iri melihat keharmonisan hubungan mereka. Tante tanya alasannya. Awalnya Maya diam, Maya memang pendiam dan sering menyimpan masalahnya sendiri, Tante terus mendesaknya, hingga akhirnya dia cerita kalau suaminya dekat dengan wanita lain. Maya sering memergoki pesan singkat bernada mesra di ponsel suaminya, setelah Maya selidiki ternyata wanita itu adalah bawahan Rifai di kantor. Tante yang saat itu juga berang langsung mengantar Maya ke seorang pengacara, hari itu kami hanya meminta nasihat bagaimana baiknya.
"Dua hari berikutnya Maya kembali menjumpai Tante, dia bilang telah membicarakannya dengan suaminya. Rifai menolak untuk cerai. Dia bersikukuh kalau hubungannya dengan Niken hanya sebatas pertemanan. Tentu aja Maya nggak percaya, sampai akhirnya Rifai berjanji akan memecat Niken dari kantornya. Suasana panas itu mereda, Rifai membuktikan ucapannya dan dari Maya juga Tante tahu kalau Niken pulang ke kampungnya yang ada di Semarang. Tante sempat merasa lega, karena berbulan-bulan berlalu Maya tak pernah bercerita hal yang ganjil di rumah tangganya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Not The Wrong Choice [TERBIT]
General FictionMereka tidak menjalani sebuah keterpaksaan. Mereka hanya jiwa-jiwa lelah. Cukup dengan kesepakatan kecil maka jalinan sebagai pasangan sah pun menaut. Sekuel Revenge