Jadi begitu, sebelum salah satu dari kami sempat melawan, kami sudah diseret oleh cacing-cacing menuju terowongan berlendir yang membawa kami pada ruangan yang kukira adalah penjara yang dimaksud. Levi dan aku dilemparkan masuk begitu saja, Mom dan Dad diseret ke tempat lain. Tingkat kepanikanku saat itu adalah sangat dekat dengan jeritan.Aku menjerit memanggil Mom dan Dad.
Seakan belum jelas, Levi bergumam. "Sial, ini jebakan."
Aku tidak mengerti banyak hal, pasti kau sudah tahu fakta ini. Aku dilemparkan ke dalam kejadian demi kejadian, sejauh ini aku sudah nyaris mati tiga kali, tapi sampai saat ini, baru kali inilah aku benar-benar kesal dengan Spring. Kesal dan juga takut.
"Aku tidak punya waktu untuk dipenjara!" kutendang pintu besi yang menutup tak bergeming. Ruangan ini sangat bau dan sempit, ke mana pun aku melihat tidak ada celah kecuali lubang-lubang super kecil di dinding yang menyorotkan cahaya. Levi duduk di papan kayu yang kutebak seharusnya berfungsi untuk tempat tidur, menatapku dengan alis terangkat.
"Aku juga tidak punya waktu untuk mati," Levi mengangkat bahu, kemudian menunjuk sesuatu di belakangku. "Kau pasti tidak ingin dekat-dekat dengan pintu itu."
Aku membuka mulut, lalu menutupnya kembali ketika merasakan embusan napas dingin di leherku. Tahu kan perasaan ketika kau berada dalam bioskop dan sedang menonton adegan mendebarkan di layar lebar dan kemudian merasakan embusan napas yang jelas bukan AC, tubuhmu menegang, seribu dugaan mengenai apa yang berada di belakangmu mulai memenuhi kepalamu. Kemudian, bertepatan dengan efek suara yang membuatmu terlonjak, seseorang berkata, "Boo!" dan kau ingin menangis sakit takutnya.
Masalahnya pada saat ini hal tersebut tidak akan sekonyol apa yang terjadi di bioskop ketika mengetahui bahwa Krissy sedang menjahiliku. Sewaktu aku menoleh, sepasang mata bundar balik menatapku. Mulutnya membentuk senyum, hidungnya tenggelam dalam lempengan besi. Dia mirip dengan Thomas si kereta dalam film kartun (akui saja, Thomas itu menyeramkan, tidak lucu sama sekali), selama beberapa detik yang rasanya seperti selamanya, kami hanya bertatap-tatapan. Sampai akhirnya--apa pun dia--bersuara.
"Halo, tendanganmu hebat juga."
Aku menjerit (lagi)
Itu bukan momen yang hebat, bukan juga reaksi yang bagus. Aku memelesat sangat cepat ke seberang ruangan, berusaha menjauhi si pintu berwajah yang kini menyeringai sangat lebar. Ketika melihat pintu itu mengembang dan mengempis, aku tidak mungkin salah menebak bahwa ada sebuah pintu yang sedang menertawaiku saat ini.
"Sudah lama aku tak melihat reaksi itu!" si pintu terbahak. "Well, sudah lama juga aku tak melihat manusia dikurung di tempat ini dan siap dibakar sampai mampus. Lama sekali, kukira. Beribu-ribu tahun semenjak Steeeele--dengan banyak e--mengutukku menjadi sebuah pintu. Namaku Besi Panas, ngomong-ngomong."
Aku tidak bisa berkata-kata. Sebagian karena aku memikirkan kalimatnya (dibakar sampai mampus), sebagian lain karena jantungku masih berdebar kencang, aku takut jika aku mengatakan sesuatu ruangan ini akan berbicara padaku juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Tale of Summer Green (Starsfall #1)
FantasySummer Green hanya punya satu keinginan; hidup normal seperti gadis-gadis kebanyakan dan punya pacar baik hati (oke, itu mungkin dua). Namun setelah diputuskan Dustin pada hari ulang tahunnya, sepertinya hidup normal tidak akan pernah berada dalam...