Kejadian hidup dan mati tak pernah dapat ditebak.
Kukira jika suatu saat aku mengalami itu, aku akan berada dalam pesawat menuju Hawaii. Atau ketika aku pulang dari Honeymoon dengan suami masa depanku (yang kemudian ternyata suamiku adalah semacam pahlawan, menyelamatkan kami semua dari bahaya). Kejadian hidup dan mati di dalam kamarku sendiri jelas tidak pernah terpikirkan.
Aku tidak tahu mengapa ada truk yang lewat di depan rumah kami. Truk besar, jenis untuk mengangkut bahan bangunan. Dan aku tidak perlu diberitahu mengapa truk itu bisa melubangi kamarku (dan sebagian besar ruang tamu), aku sudah tahu mengapa, ini semua karena Winter Blue berada dalam lingkaran kesialan. Dan aku terlibat. Dan ini barangkali belum seberapa.
Ketika duduk di bagian belakang ambulans sambil minum cokelat panas dan diselimuti kain tebal yang hangat, aku memelototi rumahku, berharap ketika aku mengedip lagi di detik berikutnya, semuanya akan kembali seperti semula. Alih-alih, aku masih menatap para petugas pemadam kebakaran sedang melakukan pembersihan, mereka sudah mengeluarkan truk itu dari rumahku, dan supir truknya dibawa ke rumah sakit jiwa karena dugaan kehilangan akal.
Parahnya Mom dan Dad tidak bisa dihubungi.
"Kami akan terus mencoba," kata George. Wajah George keras, seakan dia sudah merasakan terlalu banyak kepahitan hidup dan tidak bisa lagi menunjukkan ekspresi senang atau sedih. Tapi hanya dia yang datang ke rumahku selagi polisi-polisi lain barangkali sibuk dengan tugasnya yang lebih penting dibandingkan membuatku merasa aman.
"Ini sudah dua jam," aku berbisik, menatap ke jalan, berharap menemukan cahaya lampu mobil Dad atau Mom memasuki daerah rumah kami. "Aku juga tidak bisa menghubungi mereka."
"Kau mau kuantar ke rumah sakit tempat saudaramu berada, Nak?" tanya George, berusaha kedengaran ramah. Tapi aku berani sumpah dia hanya ingin ini cepat selesai. Jadi kugelengkan kepalaku, menatap sekali lagi ke arah rumah, sebelum berkata.
"Aku bisa sendiri. Trims, George. Kau pikir apa yang akan mereka lakukan dengan rumahku?"
George berdiri lebih tegak, tangan di tempat senjatanya berada, dia juga memandang ke arah rumah. "Mereka akan menutupnya sementara," lalu setelah jeda dia menambahkan. "Kau yakin tidak ingin kuantarkan?"
Aku mengangguk. "Tentu."
Kulipat kembali selimut hangat yang menyelubungi tubuhku, mengangguk pada George untuk terakhir kali, kemudian berjalan pergi. Tadinya tempat ini ramai, tetangga-tetangga menonton di jalanan, barangkali memotret beberapa foto dan memasukkannya ke instragram dengan caption RIP Keluarga Green. Tapi sekarang sudah sangat sepi, barangkali mereka lelah karena Mom dan Dad tidak kunjung muncul untuk diajak berselfie.
Ketika aku berbelok di ujung jalan, semua lampu di jalan mati, angin berhenti dan aku seperti di tarik ke dalam bayang-bayang; kaki-kakiku terasa berat.
"Spring," aku mendesis, mendadak ingat bahwa seharusnya aku memanggilnya sejak tadi. Suaraku menggema di kegelapan.
"Lihat! Aku bahkan belum pergi terlalu lama dan ini sudah terjadi," Spring tahu-tahu saja sudah berada di sebelahku; kini dalam balutan pakaian normal; celana jin dan kaus. Dan tingginya tidak jauh berbeda dariku. "Menyedihkan, semuanya bergerak terlalu cepat, kita butuh waktu, apakah kau sudah menemukan cinta sejatimu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
A Tale of Summer Green (Starsfall #1)
FantasySummer Green hanya punya satu keinginan; hidup normal seperti gadis-gadis kebanyakan dan punya pacar baik hati (oke, itu mungkin dua). Namun setelah diputuskan Dustin pada hari ulang tahunnya, sepertinya hidup normal tidak akan pernah berada dalam...