Bagian 3

15K 490 9
                                    

Pelajaran pertama kosong karena guru Sejarah berhalangan hadir, sakit katanya. Tugas pun tak ada. Membuat seisi kelas mendadak heboh, mengalahkan kehebohan suporter Timnas melawan Malaysia.

Aku, Hana, Sarah, dan Risma lebih memilih duduk di luar kelas, memperhatikan siswa kelas XII yang tengah berolahraga di lapangan basket. Sarah begitu antusias, senyumnya mengembang sangat lebar.

"Ya ampun, ganteng-ganteng banget, ya, kakak kelas kita," ucap Hana.

"Yeuh! Itu mukanya biasa aja, dong, minta ditampol kayaknya, tuh, Tar." Risma menyenggol bahuku pelan.

Aku hanya tertawa melihat tingkah mereka bertiga: Sarah dan Hana yang memperebutkan kakak kelas yang katanya mirip artis Korea, serta Risma yang gerah dengan sikap Sarah dan Hana.

"Rencananya kalian mau ikut ekskul nggak?" tanya Risma.

"Enggak ah, males," jawab Sarah yang masih fokus menatap ke arah lapangan basket.

"Gue juga nggak bakal ikut ekskul apa-apa, deh, kayaknya. Nyokap bilang jangan terlalu kecapekan." Hana menyambung.

"Oh. Kalo lo, Tar?"

"Pengennya, sih, basket," jawabku ragu.

"What? Bukannya ekskul basket mayoritas anak cowok, ya? Anak cewek mah jarang yang ikut ekskul basket, Tar." Risma seakan tak percaya dengan apa yang kukatakan.

"Iya, Tar, gue setuju sama Risma. Dan kebanyakan anak basket tuh keren-keren. Lah, lo kan cewek. Ikut ekskul tari, kek, apa, kek, gitu," sahut Sarah.

"Waktu SMP aja gue ikutan basket lho, dan itu salah satu hobi gue," jawabku.

"Demi apa? Lo nggak takut item, Tar?" Sarah mengernyitkan kening.

"Alah, terlalu lebay lu, Sar. Takut item? Liat, nih, kulit gue, item-item eksotis." Hana ikut nimbrung.

"Pede banget, ya, yang kulitnya kayak kedelai hitam yang dibesarkan seperti anak sendiri." Sarah meledek.

"Pede wajib, minder jangan," sergah Hana cepat.

"Tapi serius nih, Tar, lo bakal ikut ekskul basket?" Risma mencoba memastikan.

"Kenapa enggak?" jawabku santai.

***

Setelah dua jam berkutat dengan Matematika yang super memusingkan, akhirnya bel istirahat kedua berbunyi. Wajah-wajah cerah ceria mendadak terbit di kelasku, termasuk wajahku. Semua hendak berhamburan menuju kantin untuk menyegarkan tenggorokan yang kering. Tapi, sebelum itu, ada yang menginterupsi kami supaya tetap di kelas dulu karena akan ada pengumuman singkat.

Aku terkejut melihat siapa yang datang ke kelasku, ternyata orang itu, laki-laki itu, laki-laki bermata cokelat.

Semuanya duduk kembali ke kursi masing-masing sambil mengaduh, karena jam istirahat otomatis terpotong. Tapi aku tidak masalah. Aku malah senang.

"Sebelumnya Kakak minta maaf karena mengganggu waktu kalian sebentar. Kakak di sini hanya ingin memberitahukan, kalau ada yang berminat untuk ikut ekskul basket, seleksinya akan dilaksanakan pada hari Sabtu jam tiga sore."

"Ada yang mau ditanyakan?" sambungnya sambil tersenyum ramah.

"Tidaaak!" jawab seisi kelas.

Aku terus memperhatikan wajahnya. Kemudian pandanganku beralih ke dada kirinya yang tersemat name tag bertulis Aldo Veraldo.

***

Tiga hari menjelang seleksi ekskul basket.

Aku mulai mempersiapkan diri, mempelajari lagi teknik-teknik yang pernah kupelajari saat SMP serta menyiapkan fisik dan mental. Mentallah yang kurasa sangat penting. Saat di seleksi nanti, pastinya ada Kak Aldo selaku senior di tim basket sekolah, tapi bukan ketua tim, melainkan hanya anggota yang anget-anget tahi ayam kalau kata Sarah. Tidak terlalu terkenal, tapi permainannya bagus. Jangan tanyakan Sarah dapat info itu dari siapa, dia itu stalker tim basket sekolah. Alasannya satu. Karena anak basket keren-keren, katanya.

Truth or Dare (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang