Bagian 16

7.9K 296 0
                                    

"Mengambil sebuah keputusan harus siap menanggung risikonya pula.

Ayah pernah bilang begitu padaku. Aku sudah mengambil keputusan sebagai pacar kontraknya Alder, yang kata cowok itu selama menjadi pacarnya, aku harus mengikuti perintahnya. Bukan perintah dalam artian jadi babu atau pembantu, melainkan seperti ... berangkat dan pulang sekolah harus bersama, ke kantin juga harus bersama, setiap malam Minggu harus pergi jalan dengannya, dengan alasan supaya orang-orang mengira kami pacaran sungguhan, bukan bohongan.

Opsi pertama dan kedua aku masih sanggup menjalankannya, tapi opsi ketiga itu lho, yang mengharuskanku pergi jalan dengannya setiap malam Minggu. Satu hal yang pasti, Ayah tidak akan mengizinkanku keluar malam, apalagi ini dengan seorang lelaki.

Alder! Kenapa dia membuatku bingung begini? Bukannya secara teknis dia yang paling membutuhkanku, ya? Kenapa malah aku yang harus mengikuti semua perintahnya?

Sudah seminggu ini aku menjadi "pacarnya" dan nanti malam adalah malam Minggu. Kata Alder, malam ini dia mau mengajakku ke kafe tempat biasa mantannya itu kumpul bareng dengan teman-temannya. Dan itu alasan kenapa aku wajib untuk ke sana malam ini.
Itulah yang sekarang membuatku mondar-mandir tidak jelas di dalam kamar, bingung bagaimana cara meminta izin kepada Ayah.

Frustrasi, buntu, tak ada ide yang terlintas di otakku. Kuambil handphone di atas nakas, lalu mengirimi pesan pada Alder.

Me : Kayaknya gue nggak bisa keluar malem ini. Ayah gue pasti nggak bakal ngizinin.

Aku mondar-mandir seperti setrika, menunggu balasan dari Alder. Hingga beberapa menit kemudian, muncul balasan darinya.

Alder : Gue jemput lo. Nanti gue yang minta izin.

Bola mataku hampir saja copot dari tempatnya melihat balasan Alder. Bagaimana mungkin dia yang akan izin ke Ayah? Bisa ditelan hidup-hidup dia.

Me : Jangan ngaco. Sekalipun lo yang minta izin, dia pasti nggak bakal ngeizinin gue keluar.

Alder : Bawel! Nanti jam 7 gue jemput!

Aku mendengkus. Alder memang seperti ini. Setelah kurang lebih dua minggu mengenalnya, aku sedikit tahu sifatnya yang tak suka dibantah dan teguh pendirian. Sifatnya persis sama sepertiku, namun kalau disuruh debat dengannya atas suatu hal, jelas aku pasti kalah. Selain sifat tadi, ada satu sifat Alder yang tak boleh dilupakan, yaitu keras kepala.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 18.30. Yang artinya tiga puluh menit lagi Alder akan datang menjemputku. Aku segera bersiap dan berganti pakaian. Sweater biru cerah, celana jeans senada, sneakers putih, serta tas selempang kecil, menjadi setelanku malam ini. Toh, kita hanya akan ke kafe biasa tempat anak muda nongkrong, jadi aku berpakaian santai saja.

Aku menatap pantulan wajahku di cermin, tak berniat dandan atau memakai bedak sedikit pun.

Tok tok!

Terdengar suara pintu diketuk, lalu menampilkan sosok Rian tengah berdiri di sana.

"Ada temen Kakak, tuh, di ruang tamu," ucapnya.

"Cowok?" tebakku.

"Iya. Dia lagi ngobrol sama Ayah, tuh." Rian berkata santai lalu meninggalkanku dengan mulut menganga.

Truth or Dare (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang