Bagian 27

8K 346 9
                                    

Setelah pulang sekolah, aku langsung pulang ke rumah, menolak ajakan ketiga sahabatku yang ngotot mengajak nonton film baru di bioskop. Sesampainya di rumah, aku langsung menuju kamar. Entah kenapa hari ini sangat melelahkan bagiku. Apalagi pelajaran terakhir tadi adalah Matematika. Super memusingkan.

Kurebahkan tubuh di atas kasur. Aku merogoh handphone di dalam tas. Tak ada satu pun notifikasi dari semua media sosialku. Aku menghela napas, bosan. Kulemparkan handphone-ku asal dan sejenak memejamkan mata.

Kurasakan handphone-ku bergetar. Aku segera meraihnya. Satu pesan dari Alder.

Alder : Nanti malem lo ada acara nggak?

Me : Nggak ada. Kenapa?

Alder : Nanti gue jemput jam 7.

Me : Oke.

***

Tepat jam tujuh malam, Alder sudah nangkring di ruang tamu dan mengobrol dengan Ayah. Aku sendiri sudah bersiap sejak setengah jam lalu. Aku memakai rok ¾ dengan kaus putih polos. Alder juga terlihat memakai pakaian santai.

Aku menghampiri mereka dan duduk di samping Alder.

"Alder mau ajak Tari ke mana?" Ayah bertanya.

Aku melirik Alder sebentar, cowok itu pun menjawab, "Ke mall, Om."

"Mau ngapain?"

Aku mendelik pada Ayah. Sejak kapan Ayah jadi superkepo seperti ini?

Kulihat Alder tersenyum canggung. "Mau beli sesuatu buat hadiah ulang tahun adik saya, Om."

"Wahh, kalau sama adiknya aja perhatian, pasti ke pacarnya juga perhatian, tuh."

Aku bingung dengan Ayah yang omongannya jadi melantur begini.

Alder terkekeh. "Om bisa aja, Alder nggak punya pacar, Om."

"Tapi ada, dong, yang lagi deket sama kamu?" goda Ayah.

Kenapa Alder tak cepat-cepat mengajakku keluar secepatnya, sih? Bisa-bisa Ayah tambah melantur omongannya.

"Ada, Om. Hehe." Kulihat Alder semakin canggung.

"Siapa? Langsung tembak aja, entar keburu diambil orang."

Siapa pun, tolong bawa aku kabur dari sini.

"Eh?" Alder menggaruk leher belakangnya, kentara sekali kalau dia sedang bingung harus menjawab apa.

"Ayah, udah interogasi Alder-nya? Nanti keburu malem," potongku.

"Yuk, Der." Aku langsung berdiri, Alder ikut berdiri.

"Yahh, padahal Ayah penasaran banget siapa cewek yang mau ditembak Alder. Tapi nggak pa-pa, deh. Alder, kalau kamu mau nembak cewek itu, cerita sama Om, nanti Om kasih saran cara paling romantis buat nembak dari abad sembilan belas, ya?"

Kepalaku mendadak ingin pecah. Ayah? Apa ini benar ayahku? Sejak kapan dia berubah seperti ini? Sejak kapan dia banyak bicara seperti ini? Ya ampun!

"Oke. Siap, Om," jawab Alder lalu melirikku sekilas.

"Ya udah, Om, kita pamit dulu." Alder menyalimi Ayah, aku juga.

"Hati-hati ya," pesan Ayah.

"Iya, Ayah," jawabku.

Kami pun keluar dan menuju motor Alder yang ada di halaman rumahku.

Alder menyerahkan helm satunya padaku. Aku langsung memakainya dan naik ke atas motor. Namun, setelah aku sudah naik, Alder tak kunjung menyalakan motornya.

Truth or Dare (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang