Bagian 38

7.7K 375 68
                                    

Langit senja menyambut ketika aku dan Rakha sudah sampai di depan rumahku. Hari ini, aku mendapat pengalaman yang sangat berharga, dan itu berkat Rakha. Dia membawaku ke dimensi lain yang tak pernah kujamah sebelumnya, mengajarkanku supaya senantiasa bersyukur atas apa yang sudah kumiliki saat ini, karena di luar sana, banyak yang tidak seberuntungku.

"Makasih buat hari ini." Sungguh, aku pasti tak akan bisa melupakan kenangan hari ini.

"Sama-sama."

"Terbukti, kan, omongan gue? Lo pasti seneng gue ajak ke tempat tadi."

Aku mengangguk. "Hm. Lo sejak kapan suka ke sana?"

"Sejak bokap gue meninggal, dua kali seminggu gue selalu ke sana."

"O-oh, sorry." Aku sungguh tak tahu kalau ternyata ayah Rakha sudah meninggal.

"Santai aja."

"Kalo boleh tahu, sejak kapan ayah lo meninggal?"

Kuamati wajah Rakha. Dari raut mukanya, dia terlihat biasa saja. Tak ada kesedihan yang mendalam, atau rasa tak nyaman atas pertanyaanku ini.

"Sekitar dua tahun lalu. Sejak gue berbaur bersama mereka, gue nggak ngerasa sendirian lagi hidup di dunia ini." Rakha tersenyum. "Hahaha. Alay banget, ya, bahasa gue?"

"Emang sebelumnya kenapa lo ngerasa sendirian? Walaupun ayah lo udah meninggal, kan, masih ada ibu lo?" Aku menatap Rakha yang kini malah tertawa.

"Walaupun gue serumah sama Nyokap, gue selalu ngerasa sepi. Nyokap gue gila kerja buat menuhin kebutuhan gue. Dia berangkat pagi dan pulang larut malam, nggak ada waktu buat merhatiin anak satu-satunya ini. Gitu aja terus tiap hari. Sebenernya, anak seusia kita yang dibutuhin, tuh, kasih sayang, bukan hanya materi. Bener, 'kan?"

Hari ini, aku baru melihat sisi rapuh dari seorang Rakha. Selama ini dia berusaha menghibur diri agar tidak larut dalam kesedihan. Hal positif seperti mengunjungi panti asuhanlah yang dia ambil untuk lebih banyak bersyukur dan tak terus-terusan menyalahkan keadaan atas apa yang dia alami.

"Tumben omongan lo bener," cibirku, mencoba mencairkan suasana.

Dia terkekeh. "Biasa, baru baca quote alay di Twitter."

"Bisa aja. Oh iya, kalo lo mau ke panti lagi, jangan lupa ajak gue, ya?"

"Siap!" Dia memberi hormat.

Aku tertawa. "Ya udah, sana balik."

"Ngusir, nih?"

"Kalo lo mau tetep di sini juga terserah, gue sih mau masuk," ucapku seraya membuka pagar rumah.

"Iya iya, gue balik, nih."

Setelah cukup lama mengatakan itu, Rakha tak juga melajukan motornya.

"Kok nggak maju-maju, sih, motornya?"

Dia malah bengong menatapku.

"Hey!"

"Hah? Senyum lo manis, sih, jadinya gue nggak fokus, kan," ucapnya, lalu langsung melesat dengan motornya.

Aku geleng-geleng melihatnya. "Rakha, Rakha. Ada-ada aja."

***

Setengah tujuh malam, saat aku tengah menulis rangkuman sejarah, ada satu pesan masuk. Aku membukanya.

Alder : Keluar sebentar, gue ada di depan.

Aku berlari menuju jendela dan menyibak gorden. Benar, Alder tengah menunggu sambil duduk di atas motornya. Aku segera turun dan izin kepada Ayah untuk keluar sebentar, menemui Alder.

Truth or Dare (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang