Bagian 12

9.4K 391 3
                                    

Sunyi malam tanpa suara, hanya hati yang bicara

Kau di sampingku diam membisu

Meski riuh dera jiwaku

Mungkinkah ada satu kesempatan

Merangkum rasa yang kini ada

Terbang bersamaku bila kau mau

Genggamlah hatiku

Meski tak sempurna separuh sayapku

Langit berbintang memelukku

Erat

Alunan musik milik Rendy Pandugo mengalun lembut lewat handphone di kamarku. Aku berdiri di depan jendela kamar, melihat langit malam yang mendung tanpa bintang. Sekelebat cahaya putih menyambar di timur. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan, batinku.

Sudah dua bulan lebih aku menjauhi Kak Aldo. Awalnya Kak Aldo masih sering mengirimiku pesan ataupun menelepon, tapi aku tak menghiraukannya. Saat berpapasan di koridor sekolah pun aku selalu menghindar dan lebih memilih berbalik arah.

Kembalinya klub basket cewek mengharuskanku dan teman-teman latihan tiga kali seminggu. Basketlah yang menjadi pengalihanku saat ini.

Risma, Hana, dan Sarah, pun mendukung atas semua keputusanku. Mereka paham kalau ini yang terbaik bagi diriku sendiri maupun Kak Aldo. Tak jarang, mereka menghiburku ketika aku tiba-tiba galau saat awal-awal melupakan Kak Aldo. Aku juga jadi sering hangout bersama mereka ketika weekend. Refreshing.

Satu tetes. Dua tetes. Tiga tetes. Air hujan mulai berjatuhan ke bumi. Semakin deras. Kututup gorden dan beringsut naik ke kasur, memasang selimut sampai ke dada.

Jam masih menunjukkan pukul 19.45. Kuraih handphone di atas nakas dan membuka grup chat teman-temanku.

Ini Grup Chat (Pejuang Ulangan Semester)

Sarah_valensi : Oy!

Hanaabcd : Belajar dulu sana!

Sarah_valensi : Ada mi ayam spesial.

Risma : Berasa nonton iklan mi instan gue-_-

Hanaabcd : Serius gue, elahh. Lusa udah ulangan semester juga, nilai jeblok baru nyaho, loh.

Sarah_valensi : Kan ada elo yang siap sedia buat ngasih gue contekan, hehe.

Hanaabcd : Kalo PR sama ulangan harian sih, no problem. Nah kalo ulangan semester sih, OGAH!

Sarah_valensi : Hana berubah tiba-tiba ih. Aku tuh nggak bisa diginiin.

Hanaabcd : Alay najis!

Sarah_valensi : Teman terlaknat dasar!

Sarah_valensi : Tenaaangg. Masih ada Risma sama Tari. Mereka kan malaikat penolong gue.

Risma : OGAH!!

TariArinda : OGAH!! (2)

Sarah_valensi : Ok fine. Gue bakal belajar.

Sarah_valensi : Kita buktikan aja nanti, siapa yang akan mendapat ranking paling tinggi di antara kita berempat. HAHAHA!

TariArinda : Dramatis.

Risma : Alay.

Hanaabcd : Najis.

Sarah_valensi : Sudah biasa dinistain temen sendiri.

Sarah_valensi : Ampuni teman-teman Baim, ya Allah.

***

Akhirnya! Seminggu full sudah ulangan semester ganjil, dan hari ini selesai. Tinggal menunggu pembagian rapor saja. Selebihnya, dua minggu ini free school. Yeay! Tapi, remediallah yang menjadi momok menakutkan bagiku, dan semua siswa tentunya.

Saat ini, aku dan ketiga sahabatku tengah duduk di taman belakang sekolah, karena keadaan kantin yang ramai, padahal kalau free school siswa kebanyakan lebih memilih untuk diam di rumah ataupun hangout bersama teman-temannya. Entahlah, mungkin anak-anak sekolahku pada rajin semua.

"Gila! Gabut bener nih gue." Sarah menggeram kesal.

"Gue bilang juga apa, mendingan kita tuh hangout ke mana, kek. Daripada kita mati kebosanan di sini. Iya nggak, Tar?"

"Hm. Gue kira bakal ada remedial hari ini," jawabku.

"Gimana kalau kita main truth or dare aja?" Risma berkata semangat dan sudah berdiri di hadapan kami bertiga.

"Boleh, boleh, boleh. Ya udah, dimulai dari siapa dulu, nih?" Sarah tak kalah semangat.

"Dimulai dari nama depan huruf paling akhir di antara kita semua, gimana?" saran Hana.

Aku mengangguk setuju, lalu menyadari suatu hal. "Julit lo, Han! Gue duluan, dong? Nama gue kan huruf awalnya T." Aku mendengkus.

"Sekali-kali ngenistain temen sendiri. Hahaha." Hana tertawa puas.

"Yuk, ah, mulai." Sarah memulai, kami berganti duduk, bersila di atas rerumputan. "Truth or dare?"

Aku berpikir sejenak. "Dare." Aku penasaran tantangan apa yang bakal mereka berikan padaku. Paling banter, mereka menyuruhku untuk joget-joget atau nyanyi-nyanyi, yang untungnya taman ini sangat sepi.

"Oke. Gue yang kasih dare-nya." Sarah mengedarkan pandangan. "Lo liat cowok yang duduk di bawah pohon mangga itu?"

Aku mengalihkan pandangan, mengikuti arah telunjuk Sarah. Benar. Di sana ada seorang laki-laki yang tengah duduk bersandar. Sejak kapan ada dia di sana? Perasaan tadi tidak ada siapa-siapa selain kami berempat.

"Iya, gue lihat. Kenapa?" tanyaku.

Sarah tersenyum penuh arti pada Hana dan Risma. Sedetik kemudian mereka bertiga tersenyum kepadaku.

"Kalian kenapa? Kok senyum-senyum gitu?" tanyaku bingung.

"Gini, lo samperin cowok itu, terus lo tembak dia, tapi jangan bilang kalo ini dare dari kita. Simpel, 'kan?" Sarah bertos ria dengan Hana dan Risma.

"Hah? Maksud lo?" tanyaku tak percaya. Ini sih parah pake banget. Bagaimana bisa seorang cewek nembak cowok yang baru dikenalnya kurang dari dua puluh menit? Gila memang teman-temanku ini. Aku menyesal telah memilih dare kalau tantangannya seaneh ini.

"Astaga, Tari. Apa gue harus ngajarin gimana cara ngomongnya?" Sarah geleng-geleng kepala, sedangkan Hana dan Risma hanya ketawa-ketiwi.

"Oke. Lo bilang gini, 'Hai, gue suka sama lo. Lo mau nggak jadi pacar gue?'" jelas Sarah.

"Eum... Sar, bisa nggak dare-nya diganti aja?" ucapku memelas. "Gue deg-degan masa."

"NGGAK BISA!" tolak Sarah.

"Santai aja, Tar. Gue yakin cowok itu nggak bakalan terima pernyataan suka lo gitu aja. Ya paling, nih, ya, dia bingung sama aneh ngeliat lo yang tiba-tiba nembak dia gitu aja," jelas Risma.

"Iya, bener, tuh. Palingan cowok itu kabur begitu lo nyatain perasaan lo ke dia," sambung Hana.

"Udah, sana cepet. Keburu cowoknya pergi, tuh."

Aku yang sudah berdiri kemudian didorong oleh Sarah. Mau tak mau aku pun berjalan ke arah laki-laki itu berada. Saat tepat berada di depan laki-laki itu, aku menarik napas perlahan. Laki-laki itu pun mendongak dan menatapku dengan tatapan bingung.

"Eumm... hai. Gue suka sama lo. Lo mau nggak jadi pacar gue?"

Kulihat laki-laki itu berdiri dan menatapku. Sedetik kemudian aku memejamkan mata, tak berani melihat ekspresi yang ditunjukkannya.

"Oke, gue mau. Mulai hari ini kita pacaran."

Aku sontak membuka mata, terkejut mendengar jawaban dari laki-laki di depanku ini. Dan sedetik kemudian, tanpa aba-aba, laki-laki ini memelukku. Lagi-lagi, aku hanya mampu membelalakkan mata saat berada di pelukannya.

***

Truth or Dare (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang