Bagian 17

8.8K 321 0
                                    

Sakit. Satu kata itu tak cukup untuk mendefinisikan perasaanku saat ini. Padahal jelas-jelas aku tak mempunyai hubungan spesial apa pun dengannya, bahkan orang itu pun tak memiliki secuil perasaan yang sama sepertiku. Apa aku terlalu naif, terlalu bodoh untuk bisa percaya bahwa suatu saat nanti orang itu akan membuka hatinya untukku, memberiku kesempatan untuk mengisi hatinya, dan memberiku kesempatan untuk dicintainya seperti dia mencintai gadisnya sekarang.

Lagi, ekspektasi tak selalu berjalan beriringan dengan realita. Apa yang kita inginkan, belum tentu bisa kita dapatkan. Itu semua kembali lagi ke tangan-Nya. Saat ini, hanya menangis yang bisa kulakukan. Entah mengapa ada perasaan sesak yang amat besar saat melihat Kak Aldo dengan pacarnya tadi.

Setelah kejadian di kafe, Alder tak langsung mengantarku pulang, melainkan membawaku ke taman kota. Sekarang kami tengah duduk di bangku putih tepat di tengah taman. Untungnya malam ini tak terlalu banyak orang di sini, meski ini malam Minggu. Mungkin mereka lebih memilih hangout ke mall, atau bioskop, daripada ke taman ini.

Kami saling diam. Aku yang masih sedikit terisak, dan Alder yang menyenderkan kepalanya ke sandaran kursi sambil memejamkan mata.

"Kalo lo mau cerita, gue siap dengerin," ucapnya masih dengan mata tertutup.

Aku menoleh sekilas padanya. "Gue nggak pa-pa, kok. Mending sekarang kita pulang, udah jam sembilan lebih." Entah kenapa aku malah berkata sebaliknya, padahal aku tak baik-baik saja saat ini. Aku butuh teman curhat, teman bersandar yang bisa memberiku solusi dan nasihat.

"Kalo cewek bilang nggak pa-pa, berarti ada apa-apa. Itu yang sering gue baca di quotes Twitter." Kini Alder membuka matanya dan duduk menghadapku. Dia menatap mataku penuh.

Aku mengalihkan pandangan ke sekitar, merasa tak nyaman dilihat seperti itu oleh Alder. "Kenapa lo malah liatin gue kayak gitu?"

"Kata guru gue, kalo pengen tahu orang itu lagi bohong apa enggak, ya dengan liat matanya. Dan gue tahu, sekarang lo lagi bohong, 'kan?"

Apa aku cerita saja tentang Kak Aldo ke Alder? Tak ada salahnya aku bercerita padanya, siapa tahu dia bisa memberiku sedikit solusi, 'kan? Tiba-tiba saja tebersit pikiran demikian di otakku.

Awalnya sedikit ragu. Aku menatap Alder sekilas, dan dia masih menatapku, menunggu penjelasan. Akhirnya kuceritakan semua tentang Kak Aldo, perasaanku pada Kak Aldo, pokoknya semua, tak ada yang terlewat sedikit pun.

"Gimana rasanya saat lo suka sama seseorang, tapi orang itu malah nganggep lo nggak lebih dari seorang adek?" tanyaku di akhir cerita.

Sejak aku bercerita, Alder tampak serius mendengarkan, tak memotong perkataanku.

"Awalnya, itu pasti bikin kita sakit banget. Lo pasti ngerasa perasaan lo nggak berbalas atau lo mikir, secara nggak langsung dia nolak lo dengan alasan dia udah nganggep lo kayak adeknya sendiri, 'kan? Supaya dia nggak ngerasa nggak enak sama lo karena udah nolak lo."

Aku mengangguk mengiyakan.

"Tapi lo coba, deh, liat dari sudut pandang dia. Dia juga sebenernya kesulitan saat lo ngungkapin perasaan lo yang sebenernya, sedangkan posisi dia saat itu udah punya pacar yang lo nggak mengetahui hal itu. Dia berusaha buat nggak nyakitin hati salah satu dari kalian. Of course, dia pasti sayang banget sama pacarnya, tapi dia juga ngejaga perasaan lo saat itu dengan nggak terang-terangan nolak lo. Dia nganggep lo sebagai adeknya, mungkin menurut dia dengan itu lo masih bisa deket sama dia, 'kan? Apalagi dia pernah bilang ke lo, kalo lo mirip sama adeknya yang udah meninggal. Mungkin dia bener-bener sayang sama lo karena hal itu," jelas Alder panjang lebar.

Benar. Aku tak sedikit pun memikirkan bagaimana bingungnya Kak Aldo saat itu. Aku yang tak tahu kalau Kak Aldo sudah memiliki pacar, hanya memikirkan perasaanku saja. Perasaan atau lebih tepatnya sebuah obsesi ingin memiliki Kak Aldo.

Jelas. Sekarang semuanya sudah jelas. Ternyata mendengar penjelasan sekaligus saran dari Alder, yang tak lain seorang laki-laki yang otomatis paham betul dengan keputusan yang Kak Aldo ambil, setidaknya itu membuatku lega sekaligus menemukan titik terang untuk menyelesaikan masalah ini. Setidaknya aku tahu, langkah apa yang akan kuambil selanjutnya.

Aku tersenyum pada Alder. Walaupun dia tengah menatap lurus ke depan.

Ternyata, di balik sikapnya yang selalu berubah-ubah tiap menit, Alder merupakan seorang penasihat yang andal.

"Thanks ya, Der."

Dia menoleh sekilas padaku yang masih senantiasa tersenyum padanya. Entah kenapa aku merasa plong dengan perasaanku saat ini. Tak ada lagi sesuatu yang mengganjal di dalamnya.

"Sama-sama. Lo nggak perlu senyum-senyum kayak orang gila gitu juga kali," cibirnya

Aku memukul bahunya pelan. "Apaan, sih. Gue ngerasa plong aja gitu sama perasaan gue. Gue seneng, akhirnya gue nemuin titik terang atas masalah ini. Dan ini berkat lo. Sekali lagi makasih, ya," ucapku yang masih menatap Alder, yang kini tengah menatapku balik.

"Sama-sama. Gue udah ahlinya dalam masalah beginian." Dia berkata dengan PD-nya.

Aku hanya terkekeh mendengarnya. Tak lama, handphone di saku celanaku bergetar, menandakan ada SMS. Aku langsung merogoh saku dan membuka pesan tersebut.

Ayah : Ini udah jam sepuluh lho, cepat pulang ya, Tari.

Aku menepuk jidat. Lupa kalau ini sudah larut.

"Kenapa?" Alder bertanya.

"Yuk, pulang. Ayah udah nyuruh gue pulang, nih." Aku langsung berdiri diikuti Alder.

Alder melihat jam di pergelangan tangannya. "Udah jam sepuluh ternyata. Ya udah, yuk cepet. Takut bokap lo marah."

Alder langsung menyambar tanganku dan menggandengnya, membawaku ke arah tempat dia memarkirkan motor. Sementara aku hanya memandangi tanganku yang digandengnya. Tangannya dingin sekali.

Sampai di motornya, Alder naik dan memakai helm. Dia lalu menyerahkan helm satunya padaku. Aku langsung memakainya dan naik ke atas motor.

Sebelum motornya benar-benar melaju, aku berkata, "Der, tangan lo dingin banget."

Bukannya menjawab, dia malah meraih kedua tanganku dan melingkarkan di pinggangnya. "Pegangan, nanti jatoh. Gue mau ngebut."

Aku sempat ingin melepaskannya karena merasa tak nyaman. Tapi, dengan sigap Alder menahannya dan menatap tajam padaku lewat kaca spion kiri. Akhirnya aku menurut. Takut juga terjadi hal yang merugikanku nantinya jika aku tak berpegangan padanya.

Tangannya sedingin udara malam ini, tapi punggungnya terasa hangat, sehangat matahari pagi. Entah kenapa, lambat laun aku merasa nyaman berada di posisi seperti ini. Padahal, terakhir kali, orang yang memberiku kenyamanan seperti ini bukan orang yang sekarang tengah kupeluk. Apa rasa nyaman semudah itu timbul?

***

Truth or Dare (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang