Bagian 28

9K 357 6
                                    

Setelah makan di food court tadi, Alder langsung mengantarku pulang karena jam sudah menunjukkan pukul sepuluh saat itu.

Kini, kami sudah berada di depan gerbang rumahku. Aku turun dari motornya.

Dia menoleh padaku. "Thanks, ya, lo udah bantuin gue nyari kado buat adik gue."

"Iya, santai aja," jawabku.

Dia malah senyum-senyum tidak jelas.

"Lo kenapa? Kok senyum-senyum nggak jelas gitu?"

"Nggak pa-pa." Dia masih tersenyum.

"Lo sakit, Der?"

Dia menggeleng. "Enggak."

"Lo... gila?"

"Iya. Gila kenapa gue bisa sesuka ini sama lo."

Aku membeku. Alder ini tipe orang yang penuh kejutan di dalamnya. Entah itu tindakannya ataupun ucapannya. Aku langsung gugup seketika.

"Kenapa ya gue suka banget liat ekspresi lo pas gugup kayak gini? Gemes aja gitu." Dia terkekeh.

"Apaan, sih, Der. Jangan mulai deh." Aku memalingkan wajah. Aku yakin dia sedang memperhatikanku saat ini.

"Udah sana, pulang, udah malem." Aku belum berani menatapnya.

"Lo jangan lupa."

Aku menoleh karena penasaran. "Lupa apa?"

"Jangan lupa mimpiin gue."

Sepersekian detik aku diam.

"Der ...."

"Hm?"

"Mau gue rekomendasiin rumah sakit jiwa terbaik di Jakarta?"

Matanya melebar seolah terkejut. Aku tak tahan untuk tidak tertawa sekarang. Lucu sekali ekspresinya. Fix, aku tertawa terbahak. Bahkan cukup lama aku tertawa.

"Ketawa lo," cibirnya.

"Aduh, Der, gue sampe sakit perut ini."

"Puas-puasin, Tar, ketawanya, sebelum ketawa itu dilarang," cibir Alder lagi. "Tapi gue seneng liat lo ketawa selepas ini, apalagi penyebabnya itu gue."

Perlahan tawaku terhenti. Aku menatapnya. Kami bertatapan cukup lama, sampai aku memutuskan kontak mata lebih dulu.

"Udah sana, pulang, udah malem." Aku berbalik dan hendak masuk ke dalam. Baru dua langkah aku berjalan, Alder memanggilku.

"Tari."

Aku menoleh. "Kenapa?"

Dia menunjuk ke atas kepalaku. Aku meraba kepalaku. Dan... astaga. Helm Alder belum dilepas. Aku menghampirinya dan memberikan helm padanya lalu balik badan lagi, hendak masuk ke dalam.

"Tari."

Aku menghentikan langkahku lagi. "Kenapa?"

"Jangan lupa mimpiin gue. Lo nggak boleh nolak. Ini perintah."

Hah? Aku cengo. Perintah?

Sedetik kemudian dia berlalu begitu saja dengan motornya, membelah jalanan yang malam ini begitu lengang.

Senyumku merekah. Walaupun gombalannya receh, basi, atau sebagainya, entah kenapa jika itu keluar dari mulut seorang Alder, aku sangat menyukainya. Aku bisa merasakan kalau perlahan dia mulai masuk ke dalam hatiku. Berhasil menutup luka lampau dan mengobatinya dengan sempurna.

"Malem ini gue belum sepenuhnya cinta sama lo, Der. Nggak tahu kalo besok."

***

"Ke kantin, yuk." Sarah sudah berada di samping mejaku.

Truth or Dare (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang