Pagi itu Dijjah lagi nyapu halaman rumah yang penuh sama daun-daun yang berjatuhan.
Anak majikannya sudah pergi ke sekolah, tinggal tuan rumah yang masih sarapan di dalam.
"Dijjah!" Baru beberapa menit menghirup segarnya udara pagi, tapi perasaan plong Dijjah harus selesai karena si setan memanggil.
Dijjah ga menjawab.
Papa Jeni keluar mendekati Dijjah yang masih menyapu. Pakaiannya sudah rapi bersama dasi putih yang menambah kesan penuh kewibawaan.
"Gajimu bulan ini."
Dijjah terlonjak kaget karena majikannya bertingkah kurang ajar kembali, dengan menyimpilkan amplop coklat itu di dalan baju atasnya.
"Tuan!" teriak Dijjah dan langsung menjauh.
Tapi Papa Jeni malah ketawa. "Kenapa? Saya pun bahkan sering memperlakukan dadamu dengan baik."
Dijjah semakin bergidik ngeri.
"Saya mau kerja dulu. Nanti malam, siapkan makan malam terbaik," perintahnya.
Dijjah mengangguk lalu perlahan berjalan menjauh dari setan itu.
Papa Jeni pun juga sudah berniat untuk pergi.
Tapi perhatiannya malah tertuju pada tali tambang yang tergeletak, hingga membuatnya mengurungkan niat.
Merasa dia menemukan barang yang ia perlukan, Papa Jeni lantas mengambil tali tersebut tanpa izin ke pemiliknya, Dijjah.
"Ah, ini yang kucari," kata Papa Jeni sambil menimang-nimang tali itu di tangannya.
Dijjah sedikit noleh karena penasaran. Ternyata itu tali yang ia gunakan nanti untuk mengakhiri hidupnya. Tapi majikannya asal mengambil tanpa izin sekedar bertanya.
"T-tu..."
Telat. Papa Jeni sudah meninggalkan Dijjah yang lagi berusaha mengambil kembali tali yang menjadi satu-satu harapannya untuk mengakhiri hidup.
Dijjah mendesah berat.
Ia terus berpikir bagaimana caranya ia menghilang dan hidup tenang.
Oke, mengulangi perbuatan kayak 2 minggu yang lalu, mungkin akan sedikit berhasil.
Tapi dalam hati Dijjah, selalu timbul kecemasan.
Orangtua, serta keluarga di kampung, selalu mengelilingi pikiran Dijjah jika ingin melakukan hal sekejam itu.
Siang hari-nya, Dijjah sedang melipat pakaian di kamar.
Tiba-tiba keributan menyeruak kemana-mana.
Oh, dua beranak lagi perang mulut.
Sebenarnya Dijjah terlalu capek cuma buat mau tau apa yang lagi mereka masalahin
Cuma karena ada suara tamparan, terus juga nada suara masing-masing dari mereka semakin lama semakin meninggi, Dijjah jadi penasaran.
Jadilah Dijjah mengintip dari sela-sela pintu kamarnya.
Jeni nangis. Keadaan disana kacau balau.
Tiba-tiba nama Dijjah disebut. Pemilik nama jadi takut.
Apalagi ketika dia ke-gep sama Jeni yang beberapa detik yang lalu nyebut namanya.
Dijjah mutusin buat kembali ke pekerjaan sebelumnya.
Menunggu rumah kosong, untuk memulai hidup yang tenang.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.