6[Jodoh Terindah]

5.2K 142 4
                                    

~Happy Reading~

Berpisah itu memang berat. Tapi perpisahan itulah yang membuat kita dewasa dan terus melangkah kedepan.

“Kiran pergi ya, Bun?” Tanyaku pada Bunda.

Bunda hanya terdiam, namun sedetik kemudian Bunda memelukku erat, “Hati-hati, Ran.”

Aku pun membalas pelukan hangat Bunda.

“Bunda gak mau peluk Naya juga?” Tanya Naya.

Bunda pun melepas pelukannya padaku dan beralih memeluk Naya, putri bungsunya.

“Jaga Kakakmu ya, Nay. Ingatkan dia untuk minum obatnya tepatnya!”

Titah Bunda itu disambut anggukan semangat Naya.

Aku berjalan ke arah Ayah yang sedari tadi hanya memandangi kami, “Ayah....” Lirihku.

Ayah pun memandangiku, “Andai Ayah ini perempuan, pasti Ayah bisa peluk kamu seperti Bundamu ya, Ran?”

Aku tersenyum dan memeluk lelaki yang telah sangat berjasa padaku, “Ayah bisa peluk Kiran tanpa harus menjadi perempuan.”

Ayah mengelus kepalaku perlahan, “Ayah pasti akan sangat merindukanmu....”

“Apa Ayah pikir Kiran tidak akan merindukan Ayah?”

“Ayah tau kau akan sangat merindukan Ayahmu yang tampan ini, ya kan?”

Aku memandangi wajah Ayah, “Yah, PD banget sih. Gak baik buat kesehatan tau.” Ledekku.

Ayah tersenyum dan kembali memelukku, “Jangan lupa pamit sama Adam, Ran.” Bisik Beliau.

Aku hanya terdiam begitu pula dengan Ayah.

*****

Naya berjalan di depanku dengan Ayah dan Bunda di kedua sisinya.

Yang secara otomatis aku berjalan berdampingan dengan Adam.

“Jadi sekarang kau harus pergi?”
Aku mengangguk untuk menjawab pertanyaan Adam.

Awalnya aku tidak berminat memandang wajah Adam, namun Adam tidak lagi bersuara. Dan itu membuatku penasaran, sehingga membuatku memandang wajahnya.

“Kenapa?” Tanyaku saat mendapati raut muka muram yang jarang ku lihat pada wajah Adam.

Adam menggeleng, “Tidak apa-apa.”
Semua sunyi setelah jawaban Adam.

Hingga Adam kembali bersuara, “Apa kau harus benar-benar pergi, Ran?”

“Dam, aku hanya pergi 1 bulan. Dan kau tau apa yang akan terjadi setelah aku kembali, benar kan?”

“Seandainya aku bisa menghentikanmu pergi.”

Aku tersenyum, dan sepertinya senyumku menyisakan tanda tanya di hati Adam sampai ia bertanya, “Kok senyum?”

“Baru beberapa menit yang lalu kau berkata, kau tidak pernah takut kalau aku pergi. Karena jika memang kita sudah berjodoh maka sejauh apapun aku pergi. Aku akan tetap akan pulang juga menuju hatimu. Dan sekarang kenyakinan itu sudah hilang?”

“Kau benar. Kiran, aku akan menunggumu. Kenyakinan ini tidak akan hilang, aku berjanji.”

Aku tertunduk, “Aku hanya akan kembali ke hatimu jika kita memang berjodoh, Dam. Tapi jika tidak, apa kau akan terus menungguku?” Batinku.

“Hati-hati ya, Ran, Nay. Cepat pulang. Jaga diri kalian baik-baik. Ya?” Pesan Bunda.

“Bunda, Naya sudah bosan mendengar kalimat itu.”

“Ya sudah, pokoknya hati-hati.”

Aku kembali memeluk Bunda, “Kiran pergi, Bun.” Lalu mencium tangan Bunda dan Ayah.

Naya pun mengikuti dari belakang.

“Aku pergi dulu, Dam.” Ucapku sambil tersenyum.

Adam hanya diam.

Setelah acara melambai-lambaikan tangan usai, aku dan Naya masuk.

“Disini, Kak.” Tunjuk Naya pada salah satu kursi.

Aku mengangguk dan duduk disampingnya.

Aku mengeluarkan salah satu novelku, “Ngapain, Nay?” Tanyaku saat memperhatikan Naya yang sibuk sendiri membenarkan sandarannya.

“Cari posisi tidur.” Jawabnya sambil meringis.

Aku menggeleng tak percaya, “Perjalanan singkat Jakarta-Jogja, kau masih mau tidur?”

“Ayolah Kak, ngantuk. Nanti bangunin ya?”

“Iya.”

Hanya butuh waktu 5 menit bagi Naya untuk memasuki alam mimpinya.

Aku meraih sebuah foto berukuran 8 × 10 cm dari belakang halaman novel yang ada di tanganku.

“Aku datang, tunggu aku ya?” Ucapku sembari mengusap foto tua itu.

Jodoh TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang